Sang Penjaga #1

470 55 1
                                    

Satu bulan berlalu, tapi Kakek Yaman masih belum juga menepati janjinya. Malahan, aku yang terus dites oleh Si Belang, karena kegagalan mengusir si Pocong Besar. Ya, walaupun begitu, setidaknya aku sudah lebih siap jika Kakek Yaman datang dan mengajakku jalan-jalan.

"Bu, Amir berangkat dulu, ya!" Aku pamit untuk pergi ke Bandung, karena besok ada jadwal kuliah. Jarak yang begitu dekat antara Karawang dan Bandung, membuatku sering pulang ke rumah.

"Iya," sahut Ibu dari arah dapur. Aku menghampirinya lalu mencium punggung tangannya. "Hati-hati. Kabarin kalau udah nyampe."

"Iya, Bu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Aku berjalan ke kamar Dani, "Kak, Amir berangkat dulu," ucapku sambil mengintip ke dalam kamar Dani.

"Iya," balas Dani yang sedang rebahan di kasur.

Aku melangkah ke luar, disambut dengan kehadiran Canih yang sedang duduk di pohon mangga depan rumah.

"Siang-siang begini udah nongol," ucapku melalui batin.

"Hihihihi, iya. Kamu mau pergi?" sahutnya seraya ongkang-ongkang kaki.

"Hooh, jangan ikut!"

"Lagian saya tidak akan mungkin bisa ikut."

"Iya, juga." Aku melihat ponsel untuk mengetahui lokasi ojek online. "Oh, ya. Jangan ganggu Dani," pesanku pada Canih.

"Saya tidak berani. Dia sama kasarnya dengan kamu."

Aku pun tertawa kecil. Ingat sekali, beberapa waktu lalu Canih bilang kalau sempat masuk ke dalam mimpi Dani. Sayangnya, Dani malah bersikap kasar dengannya.

Tin!

Ojek online pesananku datang. "Atas nama Amir?" tanyanya.

"Iya, Pak." Aku naik ke motor lalu pergi menuju terminal. Sesampainya di sana, langsung mencari bus tujuan Bandung.

Aku duduk di kursi dekat jendela, lalu memasang earphone dan menyalakan musik di ponsel. Sembari menunggu bus berangkat.

Sekitar setengah jam kemudian, bus mulai bergerak. Aku melihat sekitar, tak banyak penumpang. Mata ini menangkap sosok mencurigakan yang duduk paling belakang sembari menundukkan kepala. Dari bentuknya, aku sudah hafal kalau dia adalah Kuntilanak. Terlihat dari rambutnya yang panjang.

Aku berpura-pura tidak melihatnya dan fokus menatap jendela. Semenjak kecelakaan itu, aku sangat rindu dengan hidup normal. Tidak bisa melihat sosok tak kasat mata. Soalnya, mereka itu sangat mengganggu dan bisa membuat tubuh ini menjadi lemah.

Bulu kuduk ini meremang. Bau busuk mulai tercium. Kalau sudah begini, pasti Kuntilanak itu sedang mendekat. Benar saja, dia melayang dengan santainya ke arah sopir.

Aku melirik rambut panjangnya yang menjuntai. Tiba-tiba, dia memutar kepalanya dan menatapku. "Kamu bisa lihat saya?" ucapnya sambil melotot. Spontan aku mengalihkan pandangan.

Dia bergerak mendekat, "Kamu bisa melihat saya?" tanyanya, lagi.

"Nggak," balasku dengan polos.

"Hihihihi!" Dia tertawa menyeringai dan berdiri di dekatku. Aku membaca doa dalam hati sambil menutup mata. "Jangan membaca doa!" bentaknya.

Aku terus membaca doa berulang kali. Kuntilanak itu pun menjerit kepanasan. "Dasar manusia menyebalkan!" ucapnya.

Aku tidak lagi mencium bau busuk. Saat membuka mata, dia sudah menghilang.

Terkadang aku iri dengan anak indigo lain. Mereka memiliki penjaga yang selalu siap menghalau sosok-sosok seperti tadi. Sementara aku, selama beberapa bulan ini harus menghadapinya sendirian.

CERITA AMIR (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang