Sejak tadi, Wildan dan Hendra sedang fokus bermain game mobile. Mereka seperti ada di dunianya masing-masing. Teriak-teriak tidak jelas sambil menatap layar ponselnya.
"Mandi Yuk!" ajakku.
"Hah?" sahut Wildan kebingungan.
"Malem-malem ngajak mandi, stres ni anak," balas Hendra.
"Tau tuh," sambung Wildan.
"Yeeee ... maksud gw bukan gitu," elakku.
"Trus?"
"Tadi gw liat di google, ada pemandian air panas yang buka 24 jam. Daripada malam minggu di kosan doang, mending jalan-jalan yuk ke sana! Sekalian makan sate maranggi."
"Bertiga doang?" tanya Wildan.
"Ya emang sama siapa lagi."
"Ah, curiga gw, pasti ada apa-apa," ucap Hendra.
Hendra ini mirip denganku, dia pun memiliki beberapa penjaga dan bisa berkomunikasi dengan 'mereka'.
"Curiga kenapa?" tanyaku.
"Ini dari tadi Mang Genta ketawa-tawa mulu."
Mang Genta, salah satu penjaga Hendra. Wujudnya seperti jawara tanah sunda zaman dulu. Badannya lumayan tinggi dan berisi. Kemana-mana selalu membawa parang yang diikat di pinggangnya.
"Dia bilang apa?" tanyaku.
"Sana pergi, ada yang mau kenalan, katanya sih begitu."
"Sekarang tergantung Si Wildan nih, mau gak dia? Soalnya kan dia yang punya mobil," ucapku sambil melirik ke arah Wildan.
"Mau gak, Dan?" tanya Hendra.
"Bebas lah, lagian gw gak bakal liat ini."
*
Seperti biasa, Wildan selalu duduk di kursi pengemudi. Soalnya diantara kami, dia yang paling tidak semsitif. Jadi kecil kemungkinan dia melihat sesuatu di tengah jalan. Apalagi ini jalur undangan, pasti akan ada kejadian unik.
"Siap?" tanya Wildan yang sudah menyalakan mobil.
"Gas lah."
•
Sudah hampir tengah malam, jalanan tidak begitu ramai. Mobil pun bisa melaju kencang melalui sebuah jalan besar di sekitar perkebunan teh.
"Dra, lu liat gak?" tanyaku pada Hendra yang duduk di kursi tengah.
"Hooh, rame ya," balasnya.
"Rame apaan?" tanya Wildan penasaran.
"Kaya prajurit kerajaan lagi berdiri di pinggir jalan," jelas Hendra.
"Bukan itu, Hen."
"Apaan emang, Mir?"
"Coba lu liat di kaca belakang."
"Gak usah nakut-nakutin, Mir. Ini gw lagi nyetir, panik dikit nyemplung ke jurang," ucap Wildan.
"Lu nyetir aja, Dan. Jangan denger omongan gw sama Hendra."
Perlahan-lahan, Hendra menengok ke belakang.
"Astagfirullah ...." Saking terkejutnya, Hendra sampai berusaha pindah ke kursi depan.
"Apaan sih, Dra. Bahaya tau," protes Wildan.
"Asli serem, Mir."
Aku hanya bisa tersenyum, sambil menggali informasi. Apa maksud dari makhluk yang ada di belakang mobil kami itu.
"Yeeee, Si Amir malah diem doang, tanggung jawab lu," ucap Hendra sambil menepuk pundakku.
"Dan, kalau ada warung, berenti sebentar ya," pintaku.
"Warung beneran kan? Bukan jadi-jadian."
"Ya beneran lah."
*
Mobil pun berhenti di sebuah warung jagung bakar di pinggir jalan.
"Ngilang dia, Mir," ucap Hendra.
"Huuh."
"Ini berdua daritadi apaan sih?" protes Wildan.
"Ah, lu gak liat sih, Dan."
"Apaan?"
"Tadi ada Ambulan ngikutin kita dari belakang, tapi gak ada supirnya. Terus di atas mobilnya ada yang lagi duduk gede banget," jelas Hendra.
"Gede banget?"
"Pocong merah, Dan," balasku.
"Dih, yang putih aja serem apalagi merah."
"Lu baru pertama liat itu, Hen?" tanyaku.
"Iya, asli dah serem banget."
"Santai aja dulu di sini, terutama lu, Dan. Jangan dipikirin dan takut, soalnya lu kan yang nyetir."
"Kalian juga, ngapain diomongin, kan sekarang gw jadi tau."
•
Setelah istirahat 15 menit, kami pun kembali ke mobil.
"Mir, gw duduk di depan dah," pinta Hendra.
"Yakin?"
"Jangan ah! Dua orang penakut di depan, bahaya lah," ucap Wildan.
Hendra pun pasrah, kembali duduk di kursi tengah. Dia masih ketakutan, bisa dilihat dari posisi duduknya yang condong ke depan, mendekati kursiku.
"Aman ya, Mir?" bisiknya.
"Belum."
Dengan cepat, Hendra kembali menengok ke belakang.
"Udah gak ada, Mir."
"Kata siapa? Tuh!" balasku sambil mengarahkan pandangan ke depan.
"Astagfirullah ...." Lagi-lagi Hendra terkejut setelah melihat pemandangan di depan mobil. Kali ini dia tidak kuat, lalu menutup matanya.
"Dan, lu santai aja ya."
"Ada apa sih, Mir?"
"Pokoknya, banyak-banyak baca doa aja dalem hati."
Ambulan tadi sudah ada di depan mobil kami. Hanya saja arahnya berlawanan. Semakin lama semakin mendekat. Sedangkan pocong merah tadi masih duduk di atasnya, menatapku dengan senyuman menawan.
Wus!
Angin berhembus kencang, melalui kaca depan mobil. Tubuhku merasakan benturan halus, yang membuat bulu kuduk meremang.
Dug!
Terdengar suara benda jatuh di atas mobil.
"Astagfirullah ...," ucap Hendra lalu komat-kamit membaca doa.
"Merinding gw, asli dah," ucap Wildan.
"Dah buruan tancap gas!"
•
Tidak lama kemudian, kami pun tiba di area pemandian air panas. Daritadi Hendra hanya diam saja dan lebih banyak menutup matanya.
"Dah sampe, Dra," ucapku.
"Alhamdulillah," balasnya lalu membuka mata.
"Jelasin lah, Mir. Tadi kenapa?" tanya Wildan.
"Tadi kita ditabrak Ambulan itu," balasku
"Hah?"
"Bukan cuman ditabrak aja. Si Pocong Merah tadi juga ikut, duduk di atas mobil kita. Gw bisa liat kakinya yang ngejuntai sampai jok tengah. Di samping Hendra," jelasku.
"Pantesan, daritadi Si Hendra merem."
"Itu apaan, Mir?" tanya Hendra sambil menunjuk ke salah satu pohon besar di dekat parkiran.
"Portal Gaib."
"Asli rame banget di sini."
"Cuekin aja. Yuk buruan masuk ke dalem!" ajakku.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA AMIR (Sudah Terbit)
TerrorKumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Dengan sentuhan unsur komedi. Berkisah tentang perjalan hidup seorang remaja bernama Amir. Kehidupannya beru...