Yore #3

46 9 1
                                    

"Ada apa dengan ruangan ini? Siapa yang mengacaukan ruangan ini?"

Seorang pria tinggi melihat keadaan sekelilingnya dengan tatapan matanya yang menyapu setiap sudut ruangan. Ia tertegun sejenak sebelum bertanya pada orang yang ada di ruangannya saat itu, "Siapa?"

Sepasang netra biru menatap lantai bercorak khas Port Mafianya. Ia sangat, sangat membenci situasi ini.

"Saya tegaskan sekali lagi, siapa yang mengizinkanmu masuk ke ruangan saya?"

"Saya sendiri yang melanggar," Pria bersurai senja tersebut menanggalkan topi dari kepalanya, "Saya minta maaf untuk segala kekacauan ini,"

"Benar-benar tidak bisa dipercaya. Kau yang melakukan semua ini?" Pria ber-jas putih di hadapannya benar-benar terpana sekaligus kecewa dibuatnya. Siapa yang mengizinkan eksekutif muda ini untuk masuk, bahkan mengacaukan seluruh isinya?

Meja yang berserakan kertas menjadi titik awal kesadaran seorang kepala Port Mafia yang saat itu baru saja pulang sehabis mengantar Elise untuk membeli kue-kue yang diinginkannya.

"Saya tekankan: jika hal ini terjadi sekali lagi, kau akan menjalankan konsekuensinya, paham?"

"Saya paham,"

***

"Cih, manusia-manusia ini ternyata hanya sebuah bidak," Chuuya mendecih kesal dan kecewa. Sasarannya salah. Dua bersaudara yang ia temui barusan itu adalah tak lebih dari sekadar bidak pion yang tidak ada harganya.

"Apa itu tadi, Chuuya? Tidak biasanya kau tidak konsentrasi seperti ini!"

"Apakah kau memiliki masalah?"

"Nakahara-san, Anda butuh bantuan? Sepertinya hari ini Anda terlihat sangat tertekan,"

"Chuuya-kun, kau ini bagaimana, sih?"

Ah... semua itu sudah seperti musik bagi si surai senja.

Masa bodoh. Orang-orang itu takkan tahu, apalagi peduli. Takkan tahu penderitaannya sampai titik ini. Bisa bernapas saja rasanya sudah terdengar hebat.

Ini semua hanya tentang dirinya dan Port Mafia. Ia tidak boleh lengah.

Secarik kertas yang tergeletak di dekat sepatunya menangkap perhatiannya. Ia lantas mengambil kertas tersebut.

"+81 xxxx xxxx"

Sebuah nomor telepon?

Chuuya kembali memeriksa nomor tersebut; tidak ada nama ataupun lokasi yang tertera di situ. Ah, siapa juga yang akan berharap? Hanya secarik kertas yang ditatapnya dengan kebingungan.

Kertas yang dianggapnya sebagai sebuah salah satu petunjuk disimpan dalam saku celananya. Ia cukup yakin Mori dapat menyuruh mata-mata pribadi Port Mafia untuk melacak pemilik nomor telepon tersebut.

Selalu saja pelabuhan. Selalu saja. Entah kenapa pelabuhan adalah salah satu tempat di mana tindakan ilegal terjadi.

Ia perlahan meninggalkan kedua orang yang tak sadarkan diri tersebut. Chuuya berusaha semaksimal mungkin agar tidak meninggalkan jejak kematian pada bidak-bidak catur seperti mereka. Tidak ada gunanya. Toh, jika mereka ketahuan gagal melaksanakan tugas yang diberikan oleh atasannya, mereka akan dibunuh juga. Tidak ada bedanya, bukan?

Pandangan si surai senja yang awalnya tertuju ke depan, menjadi hilang fokus ketika melihat seorang anak kecil yang berlari menuju pesisir pantai tempatnya barusan berada. Sial, apakah anak itu akan melihat dua orang pingsan?

"Paman!" Sebuah suara dari seorang anak kecil menangkap perhatian Chuuya. 

"Ah... ada apa?"

"Dua orang pingsan di pantai, mengapa paman tidak menolong mereka?" Anak tersebut bertanya dengan penasaran, "Paman yang buat mereka pingsan, ya?"

Chuuya menghela napas perlahan sebelum berjongkok untuk menyetarakan tingginya dengan anak di hadapannya. Ia menyunggingkan senyum tulus, "Paman baru saja lewat. Mereka mungkin sedang tidur di bawah sinar matahari, jadi... biarkan mereka beristirahat, ya?"

"Ahh begitu ya, baik paman!" Anak tersebut tersenyum lebar, lalu berlari kembali pada ibunya.

Sebelum sampai pada ibunya, anak tersebut tiba-tiba berbalik pada si surai senja, sampai eksekutif tersebut heran dibuatnya. Apa yang ia inginkan?

"Paman, di luar panas. Paman jangan lupa untuk cepat pulang, pasti ada keluarga paman yang menunggu!"

Kata-kata anak tersebut mungkin terdengar tulus, namun di telinga si surai senja? Hal tersebut adalah sebuah ancaman.

Meskipun begitu, Chuuya menatap anak tersebut dengan netra birunya, "Iya, kamu juga, cepatlah kembali pada ibumu,"

"Baik paman!"


Blue Hydrangea - Chuuaku angst fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang