Paradox #3

54 13 1
                                    

Hujan yang awalnya turun deras, kini mulai menyurut seiring berjalannya waktu.

Chuuya yang awalnya masih merungguh, kini bangkit dari kumpulan bunga tersebut.

"Aku tidak bisa begini terus," Chuuya mengusap air mata bercampur air hujan yang membasahi pipinya, lalu beranjak dari tempat tersebut.

Langkahnya terasa berat, namun apa boleh buat.

***

"Chuuya-san? Apa yang-"

"Tidak ada apa-apa. Sekarang kita harus berjalan sendiri tanpa Akutagawa-kun, akhir dari percakapan, paham?"

"Paham,"

Chuuya mengangguk pada salah satu kepala anggota regu tembak yang ikut dengannya. Ia harus berjalan sendiri.

"Besok... tidak, lusa mungkin akan menjadi dua hari terakhirku di kota ini. Kuso Dazai, mengapa dia harus ada di sini juga?"

Chuuya menghempaskan diri di atas sofa yang terasa luas tanpa si surai hitam. Ah... seandainya.

Ting! Ting! Ting!

Sebuah suara dari ponsel Chuuya berbunyi. Ia buru-buru meraihnya, lalu merengut ketika tahu itu adalah panggilan dari bos.

"Betapa bodohnya," Gumam Chuuya yang sempat berharap bahwa itu adalah panggilan dari Akutagawa.

"Halo?"

"Chuuya-kun? Saya dapat kabar bahwa-"

"Bos, maaf, bisakah Anda langsung berbicara pada topiknya?"

"Ah, tentu saja," Terdengar suara dari seberang sana, "Saya hanya ingin menginformasikan tentang lawanmu selanjutnya, Chuuya-kun. Informasi mengenai kemampuannya berhasil dilacak dengan baik oleh regu mata-mata dari Port Mafia, dan akan diberikan padamu nanti, jadi seharusnya kau dapat menyelesaikannya dengan Akuta...-"

"Saya bisa sendiri, bos, Anda bisa mempercayakannya pada saya,"

"Tentu saja. Semoga berhasil, Chuuya-kun,"

Setelah ponsel tersebut dimatikan, Chuuya kembali merasa kesepian untuk beberapa saat. 

Sofa yang luas, bahkan dapur yang awalnya merupakan tempat Akutagawa membuat teh juga sudah tidak ada siapapun.

Kosong.

"Dasar pecundang," Chuuya merengut kesal. Di satu sisi ia menyesali perbuatannya. Namun di sisi lain, ia juga ingin memarahi Akutagawa karena ia langsung melarikan diri begitu saja tanpa memberi kesempatan bagi Chuuya untuk berbicara.

"Dia tidak perlu pergi dengan terburu-buru," Chuuya kembali meraih ponselnya, lalu menghubungi nomor Akutagawa.

Nada dering tersebut berubah menjadi nada menghubungkan, yang berarti ponsel Akutagawa masih aktif.

Tidak ada jawaban.

Sekali...

Dua kali...

Dan terakhir kali Chuuya mencoba, panggilan tersebut ditolak.

"Ditolak? Apa maksudmu? Berarti kau masih ada di sana!" Gumam Chuuya semakin kesal. "Ya sudah, jika kau memang tidak ingin mengontak lagi, tidak masalah,"

Si surai senja dengan kesal mematikan nada dering ponselnya, lalu meletakkannya di atas meja.

Jam dinding yang berdetik, menunjukkan pukul 6 sore.

Ia tetap harus keluar lagi untuk menyelesaikan misi yang awalnya merupakan misi kerjasama, menjadi misi solo.

***

"Baik... baik... ini akan mudah," Batin si surai hitam dalam hati. Ia menahan topinya agar tidak terbang terbawa angin saat ia beraksi.

BRAKK!!!

"Celaka!"

"Tembak dia!"

"Jangan biarkan dia lolos!"

DOR! DOR! DOR!

PRAK!!! PRANG!!!

"Betapa bodohnya kalian, berharap dapat mengenaiku dengan senjata seperti itu dan kemampuan membidik kalian yang amatir,"

Si surai hitam dengan mudahnya menendang tiap senjata yang dipegang oleh para lawannya, lalu dengan gesit berhasil menumbangkan tujuh sampai delapan orang sekaligus.

"Kumohon, sisakan nyawaku!" Sahut seorang pengikut dari organisasi musuhnya, "Aku- aku akan berkata jujur!"

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" Chuuya mengeluarkan pisau lipatnya, lalu menyudutkan orang tersebut hingga ke tepi gudang. Dengan kemampuannya, ia menahan orang yang tak berdaya tersebut di depannya, lalu menodongkan pisau lipat tepat di leher pria tersebut.

"Jawab pertanyaanku dalam tiga... dua..."

"Aku- aku bisa memberitahumu letak narkoba dan mesiu, dan- dan senjata!"

"Itu saja?" Chuuya mendekatkan bilah pisau yang tajam tersebut pada leher lawannya yang semakin gemetar hebat karena ketakutan.

"Sarin! Sarin, juga, salah satu senjata kita!"

"Sarin, ya..." Chuuya berpikir untuk sejenak sebelum akhirnya menyimpan pisaunya, namun tidak mematikan kemampuannya, "Sebaiknya kau jangan macam-macam, atau akan kubuat kematianmu sungguh menyiksa,"

Satu orang lagi tidak dibunuh oleh si surai senja. Ia tahu orang ini tidak mungkin berbohong.

Manusia akan menunjukkan sifat aslinya saat akan menghadapi kematian.

"Ini bukan misi yang sulit... ah... kalau aku tahu... seharusnya aku tidak perlu ikut dengan Ryu- ah sial, ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal seperti ini," Chuuya menggelengkan kepalanya seraya membawa sanderanya dengan kemampuan gravitasi.

Pikiran si surai senja saat ini tidak bisa menampilkan suasana yang jernih. Ingatannya selalu tertuju pada Akutagawa, Akutagawa, dan Akutagawa.

"Kalau... ia memang ingin pergi, aku tidak bisa memaksanya untuk tinggal..."

"Tidak... tidak, dari dulu aku tidak pernah berhasil memahaminya, ya?"

"Rasanya tidak adil. Mengapa aku selalu salah? Mengapa rasanya aku selalu melakukan kesalahan?"

BRAK!!!

"Diam di situ, atau nyawamu akan melayang dalam kurun waktu satu detik," Chuuya menatap tajam pria tersebut dalam basement khusus yang tidak ada jalan keluar kecuali pintu tempat Chuuya berdiri sekarang.

Pria tersebut hanya mengangguk. Menyedihkan. Mana ada seorang pria pecundang? Menyerah begitu saja demi nyawa sendiri.

Manusia adalah makhluk egois.

Mereka rela membongkar segalanya demi menyelamatkan diri. Berbohong, jika perlu. Hal-hal tersebut termasuk lumrah pada kebanyakan orang.

Ah, tapi baguslah. Chuuya jadi dapat mengetahui seluk-beluk organisasi lawannya dengan mudah.

Si surai senja berjalan di lorong gelap setelah menyuruh seorang anggota regu tembaknya menjaga pria yang baru saja ia bawa. Manik birunya menerawang dalam kegelapan.

Ponselnya adalah satu-satunya sumber cahaya.

"Hah..." Si surai senja menghela napas ketika melihat nama kontak Akutagawa di ponselnya. Ia masih dapat menggambarkan kejadian tadi siang dengan jelas.

Untuk terakhir kalinya si surai senja menekan pilihan menghubungi. Ia menghubungi ponsel Akutagawa.

Seperti biasa, layar menunjukkan kata "mencoba menghubungkan", namun tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi.

Ping!

"Eh-?" Manik biru si surai senja melebar seketika. Panggilannya... diangkat?

"Ryu...?"

Blue Hydrangea - Chuuaku angst fanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang