"Eh-?"
"Diangkat-" Batin si surai senja terkejut, namun matanya memancarkan harapan agar Akutagawa tidak memutus ponselnya lagi.
"Ryu? Ryu!" Chuuya merasakan jantungnya berdebar kuat, "Di mana kamu?"
Tidak ada jawaban.
"Ryu- Ryu... kumohon, untuk terakhir kalinya, jangan matikan ponselmu. Kau tidak perlu menjawab kalimat-kalimatku yang tidak ada gunanya ini, namun... aku hanya memintamu untuk mendengarkan,"
Tidak ada suara selain deru angin yang melewati seberang sana. Chuuya menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. Ia tahu bahwa ia tak memiliki banyak waktu untuk mengutarakan maksudnya menelepon Akutagawa, setidaknya sampai Akutagawa memutus panggilannya.
"Sebelum kau mematikan ponselmu lagi... aku takut kau takkan mengangkat ponselku lagi di lain kesempatan. Jadi... dengarkan aku, ya?"
Si surai senja terdiam untuk beberapa saat sebelum melanjutkan kalimatnya. Ia merasa tidak sanggup menjelaskan semuanya.
"Aku tahu ini adalah hari terbodoh yang pernah kulewati. Aku bertindak berdasarkan keinginanku, dan aku hanya... ingin meminta maaf tentang hal itu,"
"Bergerak dengan sembarangan, aku tahu luka dapat diobati dengan mudah, seberat apapun luka fisikmu. Namun... tidak untuk luka di hati,"
"Aku sendiri bahkan tidak tahu apa yang harus kulakukan,"
"Aku hanya ingin memberitahumu satu hal..."
...
"Kau... tetaplah orang yang dapat kubanggakan,"
"Satu-satunya orang yang dapat kupercaya dan banggakan, dengar itu, Ryu? Kau mendengarkanku, kan?"
"Ingat, kan? Dulu kita hanya dua bocah tak tahu diri yang saling menjaga dari kuso Dazai. Aku yakin kenangan itu masih terukir jelas di ingatanmu,"
Bulir air mata jatuh menetes, membasahi pipi si surai senja yang tak dapat ia bendung lagi. Ia berhenti sejenak untuk menyeka air matanya tersebut.
"Maaf... maaf..." Si surai senja berusaha menarik napas untuk menenangkan diri.
"Ryu... kalau kau masih ada di sana, aku hanya senang kau mengizinkanku untuk menghubungimu, terakhir kalinya,"
"Mengetahui bahwa kau baik-baik saja di sana, sudah membuatku tersenyum, meskipun itu artinya aku tidak bisa melihat senyummu lagi"
"Mengetahui bahwa kau masih berdiri di mana pun kau berada, membuatku tenang,"
"Karena aku tahu, kau masih berusaha untuk menjadi orang terkuat untuk kuakui,"
"Aku hanya senang kau mengangkat teleponku,"
"Bahkan aku merasa lega saat mengetahui bahwa kau tidak bertindak gegabah,"
"Aku tahu kau sudah melihat sisi terburukku, dan aku yakin kau tidak menyukainya,"
"Tapi nyatanya kau sekarang mengangkat panggilanku, dan sepertinya aku tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata betapa leganya aku. Kau dengar, Ryu?"
Keheningan mencekam meliputi lorong gelap tempat Chuuya berdiri sekarang. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan selanjutnya. Lidahnya terasa kelu. Ia memaksakan senyumnya untuk menahan air mata yang hendak menetes kesekian kalinya.
"Kau... jaga diri baik-baik di sana, ya?"
Sedetik... dua detik... pesan Chuuya yang panjang tersebut tidak dijawab oleh Akutagawa.
Entah ia mendengarkan, atau tidak.
***
Panggilan selesai.
Chuuya menatap layar ponselnya, ia sudah tahu Akutagawa takkan berkata apapun, bahkan sepatah katapun tidak.
"Kau sudah tahu hal ini akan terjadi, mengapa masih menangis? Bodoh," Si surai senja mengusap matanya berulang kali hingga sarung tangannya tidak dapat lagi menampung air matanya.
Malam benar-benar terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.
Bintang-bintang yang awalnya gemerlapan, kini tertutup oleh rangkaian awan hitam yang menghalangi cerahnya cahaya bulan malam ini.
Selimut yang hangat tidak dapat memberikan kehangatan setara dengan si surai hitam yang berada di pelukannya.
Ah, tidak usah mengkhayal! Dia tak akan kembali. Pahamilah kenyataan, kenyataan!
Chuuya membantingkan bantalnya pada tembok, lalu kembali membungkus dirinya dalam selimut.
"Apakah aku benar-benar bisa mengabaikannya? Melupakannya?"
***
Cahaya matahari yang menyusup masuk membangunkan si surai senja yang masih terlelap.
Chuuya sendiri tidak sadar bahwa dirinya tertidur dalam pikiran yang kacau. Mungkin inilah yang mereka maksud dengan "tertidur dalam tekanan".
Tidak seperti biasanya, si surai senja tidak ada niatan untuk meneguk wine kesukaannya setiap pagi. Ia hanya mengambil dua bungkus onigiri dan memakannya dalam perjalanan ke basement.
Rasanya hampa, namun ia tahu ia harus segera beranjak atau ia akan terus meratapi peristiwa kemarin.
Tidak bisa dipungkiri, tugasnya juga terasa lebih mudah. Ia tidak perlu memberi arahan yang detail terlebih dahulu pada siapapun. Ia cukup menjentikkan jari, dan tentu saja anggota regu tembaknya langsung memahami sinyal tersebut.
Pekerjaan mereka jauh lebih cepat. Namun, tiada lagi yang namanya "ditemani". Semua dilakukan sendirian.
Menjadi satu-satunya eksekutif mafia yang masih bertugas tentu sangat merepotkan.
BRAK! PRAK!
"Hah... dasar," Chuuya mendengus kesal seraya menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan di hadapannya, "Lain kali bawa lawan yang setara, bodoh,"
Lawan-lawannya yang tak berdaya, ditumpas oleh Chuuya dalam hitungan detik. Pengendali gravitasi memang tidak ada bandingannya.
"Hoi, masih ada yang hidup?"
"Ada, Nakahara-san. Salah satu di antara mereka, sekarat. Namun, masih dapat berbicara,"
Chuuya melirik tajam ke salah satu lawannya yang mengalami luka tembak parah, namun masih dapat bernapas.
"Baiklah. Aku tidak suka bernegosiasi. Singkat saja, kau ingin segera memberitahu kami, atau kusiksa sampai mati perlahan? Kuberitahu, tidak menyenangkan rasanya," Chuuya menengadahkan kepala lawannya tersebut dengan ujung sepatunya dengan nada yang mengancam, "Jawab pertanyaanku,"
"Biar disiksa juga aku takkan bic-- AHH!!! SAKIT- SAKIT!" Teriak pria di depannya saat merasakan bilah pisau yang tajam menyayat luka tembak di tangannya. Darah segar mengalir keluar dari lengan pria tersebut.
"Aku tidak suka membuang waktu. Kau ingin mati, kan? Sebaiknya jawab pertanyaanku sebelum kematianmu akan menjadi hal terpahit yang akan kau rasakan,"
"M- Mesiu... di pelabuhan..."
"Kuharap kau tidak berbohong, atau..." Si surai senja menodongkan pisaunya tepat di depan mata lawannya yang gemetar hebat.
Chuuya menyimpan kembali pisaunya tersebut, lalu menjentikkan jarinya untuk memberi sinyal pada regu tembaknya.
"Habisi dia,"
Ctak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Hydrangea - Chuuaku angst fanfiction
FanficAkhir dari sebuah cerita adalah ketika orang yang dulunya membuat kenangan denganmu, justru menjadi sebuah kenangan belaka. ©️Characters owned by Kafuka Asagiri Warning : OOC, BL fluff, angst, profanities