11

2.9K 236 4
                                    

"i-ini bercanda kan? " Karan menggeleng tak percaya. "tidak mungkin" air mata Karan jatuh sepenuhnya. Tidak mungkin adiknya pergi secepat itu bukan? Tidak, itu tidak mungkin.

Tok tok tok

"papa, kita jadi jemput bun-- da, kan? " suara Brama melirih ketika mendapati Karan tersedu di ruang kerjanya.

"pa, kenapa? " Brama mendekati Papanya, ia berlutut di hadapan Karan agar papanya dapat melihat Brama dengan mudah.

"pa, kenapa? bentar lagi kan kita harus jemput bunda" lagi-lagi Karan menggeleng. Jarang sekali Brama melihat papanya menangis. Terakhir ia memergoki Papanya menangis adalah setahun setelah bunda Karin dan Arka pergi tanpa jejak. Itupun Karan menangis diam-diam. Lalu ada apa dengan Papa sekarang?

"Brama, dia sudah tenang"

🐾

Eunghh

"udah bangun heum? " perlahan netra indah itu terbuka, Arka mendongak menatap Benedict yang memeluknya.

"abang, ini jam berapa? "

Benedict tersentak, iya juga. Ini sudah hampir malam, Arka pasti akan dicari oleh Bundanya. Bunda mereka juga.

"ini jam 5, habis ini kita jemput bunda sama-sama. Okey? " Arka tertegun mendengar penuturan Abangnya. Menjemput Bunda? Arka tertawa miris, mungkin mereka belum tau bahwa Bundanya-

Hiks

Arka meluruh dalam pelukan itu. Sialnya, ia tak pernah kuasa mengendalikan tangisnya bila menyangkut Bundanya, satu-satunya orang yang selalu ada ketika ia mengalami masa kelam itu.

Arka selalu bertanya-tanya, mengapa harus Bundanya yang pergi? Kenapa bukan dia yang membuat masalah timbul dalam hidup orang-orang di sekitarnya? Kenapa malah bundanya?

"hey, jangan nangis hm, nanti bunda marahin Abang karna udah buat anak kesayangannya nangis" ucap Benedict seraya menghapus air mata adiknya.

Dari pintu, Karan, Brama, dan Bara menatap mereka berdua dengan tatapan sendu. Hanya Benedict yang belum tau akan hal ini.

"Benedict" panggil Karan, ia mengode agar putra sulungnya keluar. Benedict melepaskan pelukan Arka dan Brama mengambil alih tubuh mungil itu. Brama mengelus punggung Arka agar tenang.

"ada apa Pa? "

"Benedict, Bunda kalian," Karan menggigit bibirnya, ia masih tak kuasa mengatakan itu, bahwa adik satu-satunya telah pergi meninggalkannya dan takkan pernah bisa kembali.

"bunda Karin sudah tiada"

🐾

Raja Chandra Adhitama duduk di kursi kebanggaannya. Menjadi pemilik perusahaan sekaligus CEO di umur ke 21 adalah sebuah keberhasilan yang patut dibanggakan. Apalagi perusahaan yang baru ia bangun selama 2,5 tahun itu hampir manyaingi perusahaan ayahnya.

Banyak orang memuji keberhasilannya, banyak orang iri dengan kebahagiaan yang ia miliki, namun nyatanya semua itu berbanding terbalik dengan yang Raja rasakan.

Sudah hampir malam, kantor 10 lantai itu terlihat sedikit sepi karena sudah banyak karyawan yang pulang.

Di kantor CEO, Raja menatap kosong laptop yang menyala di mejanya. Pikirannya menerawang jauh, mengingat kembali memori indah sebelum kejadian 9 tahun itu ada.

Sudut bibirnya terangkat kala mengingat kenangan manis itu, saat itu ia masih bisa menikmati tawa bersama bunda dan adiknya secara langsung, tapi sekarang ia hanya bisa memandangi tawa beku dalam bingkai kecil yang selalu ia jaga dan simpan.

Kedua matanya memanas, sembilan tahun berlalu, dan belum ada kabar sedikitpun tentang mereka berdua, seolah alam semesta mengisyaratkan pada Raja bahwa usahanya sia-sia, namun tak pernah terlintas dalam benak Raja untuk berhenti berusaha ataupun melupakan bunda dan adiknya.

Raja mengambil bingkai foto yang terletak di atas meja dan memeluknya erat, menumpahkan kesedihan yang kian menjeratnya.

"bunda, Arka, kalian dimana? Raja rindu kalian"

🐾

"Pa, Arka mohon, Arka cuma mau pulang sebentar. "

Sedari tadi Arka merengek ingin pulang ke rumah kecilnya. Tentu saja Karan menolak. Hari sudah malam, angin malam tak baik untuk kesehatan.

"mau ngapain sih, hm? "

"mau ambil sesuatu"

"kalo gitu biar orang suruhan Papa aja yang ambil"

Arka menggeleng, "Arka mohon pa" ucapnya dengan memohon, kedua tangannya disatukan didepan dada dan kedua netranya menatap penuh harap pada Karan.

Karan menggenggam kedua tangan Arka dan membawa bocah itu pada pangkuannya, "yaudah, besok pagi okey? "

Lain hal nya dengan keluarga Maheswara, kini Gevan, Abhi, dam Daddy sedang kalang kabut mencari keberadaan Arka. Sejak tadi siang belum ada kabar sama sekali dari orang suruhan Haris, padahal ia sudah menyuruh anak buahnya untuk memeriksa CCTV sekolah dan sekitarnya, namun mereka bilang semua CCTV saat itu sedang disabotase.

Riani? Setelah mendapat kabar hilangnya Arka, Riani langsung mengurung diri di kamar. Riani terus menangis, ia takut Arka kenapa-napa. Haris juga sudah membujuk Riani agar tenang, namun tak ada perubahan. Karena saat ini yang Riani butuhkan adalah bertemu dengan Arka.

Haris membanting semua yang ada di ruang kerjanya, mulai dari vas bunga, jam, hingga meja kaca yang hancur. Ruang kerja Haris benar-benar berantakan. Sedangkan pemilik ruangan itu tengah berusaha mengontrol rasa khawatir dan emosinya.

"AAARGH" teriak Haris frustasi

"Arka, dimana kamu nak..."

๏_๏๏_๏๏_๏

Sekian.

Next?

Arka PutraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang