6

3.7K 288 4
                                    

"daddy, pulang aja yuk" rengek Arka di dalam mobil.

Arka terus menggoyang lengan baju Haris, berharap daddynya mengiyakan. Tapi Haris tak menggubris, ia masih fokus dengan dokumen yang ada ditangannya.

"nanti kalo ada yang maling rumah Arka gimana? "

Haris meletakkan dokumen ditangannya, kini fokusnya berada pada jalanan macet didepan, dan beralih menatap putranya.

"itu tidak mungkin boy, apa yang maling inginkan dari rumahmu? TV tua?. " Haris tertawa, wajah ditekuk putranya malah terlihat menggemaskan.

"ish, tapikan tabungan sama kartu kre-"

"maksudnya ini? "

Arka terbelalak, buku tabungan serta kartu kreditnya sudah ada di tangan Haris. Haris tersenyum kemenangan melihat wajah terkejut Arka.

"lain kali jangan ceroboh. " Haris memukul pelan kening Arka dengan tabungan itu.

"Tidurlah nak, Daddy tau semalam kau tak tidur" imbuhnya

Bagaimana Haris tau? Kantung mata Arka seolah menjelaskan kepadanya bahwa putranya itu tidak tidur dengan cukup.

Haris menarik pundak Arka, merebahkannya dengan posisi kepala Arka di pangkuan Haris. Arka menurut saja. Kini Haris mulai mengelus surai lembut Arka.

Dulu sebelum kejadian itu ada, Arka selalu ingin di posisi ini bersama sang ayah. Dia selalu berharap bahwa suatu hari ayahnya akan menerima Arka layaknya saudara yang lain. Tapi ayahnya mana mau? Kehadirannya saja merupakan sebuah kesalahan.

"tidurlah, jangan melamun"

Arka mengangguk, ia mengubah posisinya menjadi miring agar nyaman. Matanya menatap jendela depan yang memperlihatkan awan cerah.

"daddy" panggilnya tanpa melihat Haris.

"hm? "

Haris masih terus mengelus rambut Arka agar putranya nyaman dan segera tidur. Ia menunduk, terlihat kedua mata sayu putranya hendak menutup.

"jangan tinggalin Arka"

●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●

Disebuah kamar sosok pemuda 21 tahun memegangi foto yang tampak usang. Foto yang menampilkan dua orang yang selalu ia cari dan selalu ia rindukan.

Mengapa mereka pergi dari rumah tanpa mengajaknya? Sejak kejadian itu hari-harinya terasa berat, ia harus tinggal bersama luka. Bersama orang-orang yang membuat kedua orang itu pergi.

Tok tok tok

Atensinya teralihkan pada suara ketukan yang selalu ia dengar setiap pagi. Ia beranjak menenteng tasnya dan membuka pintu kamar, serta melewati si pengetuk begitu saja.

"bang Raja, ayo sarapan dulu, ayah sama Arja udah nunggu" ajak adik kembarnya, Raka seraya mengikuti langkah kakaknya menuruni tangga.

Masih ingat Raka? Lihat chapter 2

Namun ucapannya hanya dianggap angin lalu. Begitu juga saat melewati meja makan yang telah diisi ayah dan adiknya, ia melewati seolah tak ada siapapun disana. Raja terus berjalan menuju garasi dan meninggalkan rumah itu tanpa sepatah kata.

Harusnya Raka terbiasa, hal ini selalu terjadi setiap hari. Tapi mengapa rasa kecewa itu masih ada? Raka hanya berusaha meruntuhkam tembok kokoh yang dibangun abangnya sesaat setelah kejadian dimasa lampau itu ada. Tapi mengapa begitu sulit? Padahal mereka adalah saudara kembar.

"mm, mungkin bang Raja akan sarapan di kantornya. "

Rey tersenyum, putra ke 2 nya tak pernah lelah berusaha mengajak si sulung untuk makan bersama. "duduklah dan mulai sarapan"

Raka mengangguk, mereka bertiga mulai sarapan bersama. Tidak ada yang istimewa di rumah ini. Hari harinya tetap sama, suram. Mereka memang konglomerat, rumah yang lebih tepat disebut mansion itu sangatlah megah, namun tak ada aura bahagia didalamnya.

"Arja selesai. Arja berangkat dulu"

"kamu berangkat sama abang" Arja mengangguk. Ia menunggu Raka menghabiskan sarapannya yang tinggal sedikit.

"nanti siang abang ada urusan, jadi kayaknya abang bakal telat jemput kamu"

"tak perlu nak, nanti ayah akan mengadakan rapat dengan beberapa guru disana. Arja akan pulang bersama ayah"

"iya ayah, kami berangkat"

●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●●_●

"ini data 10 anak berprestasi yang mendapatkan beasiswa tuan"

Rey menerima data itu tanpa minat dan melihatnya sekilas. Namun tatapan tak minat itu berganti menjadi fokus pada satu nama yang tertera.

Arka Putra

"em, siapa Arka Putra ini? "

"ah, dia murid yang sangat berprestasi tuan, dia penyumbang piala paling banyak tahun ini, dia juga murid termuda di sekolah ini. "

Rey dibuat terkesan dengan penjelasan guru itu. Murid termuda, dan berprestasi. Juga nama yang begitu mirip dengan dia, membuat Rey sangat ingin menemuinya.

"tapi.. Arka hidup sebatang kara tuan" lanjut guru itu yang membuat jantung Rey berdegup kencang, ntah kenapa tiba tiba ia merasa cemas.

"ia tak memiliki keluarga, satu satunya keluarga yang ia miliki adalah ibunya, tapi sudah meninggal beberapa tahun lalu" imbuhnya.

Tanpa sadar, Rey meremat kertas yang berisi data anak berprestasi itu. Tidak, tidak mungkin Dia pergi secepat itu bukan? Dia masih hidup, dan Rey yakin akan hal itu.

"b-bisakah saya bertemu dengannya? "

"bisa tuan, akan saya panggilkan"

Sepeninggal guru itu Rey meraup wajahnya frustasi. Ia menyesal dengan kelakuannya beberapa tahun silam. Ia telah melukai 2 orang yang berarti dalam hidupnya, dan ia berharap masih memiliki kesempatan untuk meminta maaf pada keduanya.

"maaf tuan, tapi Arka sedang ijin, ia tak masuk sekolah"

"baik lah, lain kali saya akan kembali"

๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏

Next?

Ah entahlah.

Arka PutraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang