10

3.2K 253 19
                                    

Berawal dari pertemuan Benedict dengan Arka di sebuah Cafe, lalu ditambah dengan kecurigaan Bara saat tak sengaja mengetahui Arka di sekolahnya, dan pertemuan Brama di arena balapan, menguatkan ketiga bersaudara itu untuk segera mencari tau.

Sebenarnya mereka ingin mengajak Karan juga, namun saat itu Papa mereka begitu sibuk hingga tak sempat mendengarkan penjelasan tentang rencana mereka. Akhirnya mereka memutuskan untuk melaksanakan rencana sendiri tanpa sepengetahuan Karan.

Dan ini lah yang terjadi, berbekal tes DNA yang dilakukan diam-diam (dengan mengambil rambut arka dari insiden jambakan itu dan sampel DNA ayahnya) serta penculikan mendadak yang mungkin membuat Arka takut, mereka berhasil menemukan anak itu. Menemukan permata yang sempat hilang.

Kembali lagi di mansion Papa Karan.

Setelah menangis tadi Arka dibawa masuk kekamarnya dulu waktu kecil. Ia masih memeluk Karan, lantaran ada Benedict yang membuatnya takut.

"gak kangen sama abang-abang kamu hm? "

Arka mendongak, menatap Karan dengan mata bulatnya "abang dimana? "

Karan yang mendengar pertanyaan itu terkekeh. Jelas-jelas mereka ada didekat Arka, dan Arka masih bertanya.

"mereka abang kamu. Masa' ga inget sih? " tangan Karan jadi reflek mencubit hidung Arka karena rasa gemas yang tak terbendung.

Arka beralih menatap ketiga orang yang berdiri dihadapan Karan. Satu persatu ia lihat, tentu saja Arka tidak mengenali, wajah mereka berubah.

Ya iyalah bambang. Orang sembilan taun kaga ketemu.

"itu bang Al? " tanya Arka dengan menunjuk Aldebara. Arka mengenali wajah Aldebara, dia adalah ketua osis di sekolahnya, jadi mungkin saja ketua osis itu orang termuda diantara tiga orang dihadapannya. Karena setau Arka, bang Al yang Arka kenal adalah anak bungsu Papa Karan.

Karan mengangguk saja, sedangkan Aldebara melirik kedua kakaknya dan tertawa remeh. Al gituloh, pasti selalu diingat.

Al mendekat ke arah Arka dan memeluknya erat. "abang kangen kamu" bisiknya di telinga Arka. Al sangat besyukur bisa dipertemukan kembali dengan adiknya, Al sangat amat bersyukur.

Kemudian Arka menatap Brama yang ada di samping Bara. Arka terlihat berfikir sebentar lalu menatap Brama kembali "kak Brama yang di arena itu kan? "

"arena? " beo Karan. Arka mengangguk. Sedangkan Brama meringis, kenapa juga Arka harus mengatakan tentang balapan.

"arena ap-"

"dek, ini bang El loh, masa' lupa?" potong Barama sebelum Papa-nya bertanya lebih lanjut tentang arena.

Arka menatap Karan yang juga menatapnya. Karan mengangguk meyakinkan bahwa dihadapannya memang bang El yang dulu ia kenal. Arka mendekat ke arah Brama yang langsung memeluknya. Ia sangat rindu dengan adik kecilnya itu.

"ekhem"

Deheman Karan membuat semua menoleh kepadanya. "Papa harus keluar sebentar, ada yang harus papa urus. " semua mengangguk, lantas Karan mendekat ke Arka serta mencium puncak kepala bocah itu.

"maaf, papa tinggal sebentar ya" Arka kembali mengangguk, Karan yang gemas reflek mengacak rambut Arka.

Duh, Arka gemesin banget.

🐾

"Arka"

Arka bersingut mundur melihat wajah dingin Benedict. Kenapa juga kedua abangnya meninggalkan mereka sendirian? Tubuh Arka sedikit bergetar. Setiap kali Benedict mendekat, Arka akan selalu mundur, bayang-bayang bentakan Benedict kemarin masih saja berbekas di benak Arka.

Sialnya, kini Arka hanya bisa meringkuk di sudut ruangan. Tidak ada lagi tempat untuk menjauh dari Benedict. Arka terkunci, dan Benedict semakin mendekat.

"j-jangan" Arka menangis, tubuhnya bergetar hebat, jantungnya berdegup tak karuan, hingga akhirnya ia ditarik ke dalam pelukan seseorang.

"jangan takut" bisik Benedict pelan. Ia mengusap punggung Arka untuk menenangkannya.

Nyaman, Arka merasa nyaman dengan pelukan itu. Tapi Arka takut, takut jika itu hanya tipuan.

"maafin abang udah bikin kamu takut" imbuhnya.

Arka masih saja sesenggukan didalam pelukan itu. Benedict sangat merasa bersalah sekarang. Karena kecerobohannya, ia malah membuat adik kecilnya takut.

"bang Ion disini dek, jadi jangan takut lagi"

"bang Ion.., hiks " Benedict tersenyum, panggilan itu, panggilan yang ia rindukan. Benedict masih terus mengelus punggung Arka sembari menggumamkan kalimat penenang. Tangis Arka pun mereda, tak lama kemudian dengkuran halus menyapa telinga Benedict. Adiknya tertidur.

Dengan sigap Benedict menggendong tubuh ringan Arka dan memindahkannya ke atas kasur king size kamar itu. Ketika Benedict hendak melepaskan pelukannya, Arka semakin memepererat cengkramannya pada baju abangnya. Benedict tersenyum, ia turut berbaring di samping Arka dan membelai kepala Arka dengan lembut.

"mimpi indah, adik kecil abang"

Cup

●_●●_●●_●

Bara tersenyum menatap album tua yang berisi foto Bara bersama kedua abangnya, adik kecilnya alias Arka, Papanya, dan juga Bundanya. Bunda Karin.

Mama kandungnya telah tiada sesaat setelah melahirkan Bara. Saat itu Bunda Karin lah yang membantu Papanya mengurus Benedict, Brama, dan Bara. Bunda karin bukan hanya adik dari papanya. Bagi ketiganya, Bunda Karin adalah sosok malaikat pengganti Mama mereka yang telah tiada. Bunda karin selalu merawat mereka layaknya anak sendiri, itu sebabnya mereka bertiga selalu menyayangi Arka layaknya adik kandung.

Mereka tau apa yang dialami Arka ketika kecil, bahkan dulu Karan pernah menawari Arka untuk tinggal bersama, namun Arka menolak. Karena Arka tau Bunda juga menyayangi ketiga kakaknya di rumah.

Saat mendengar alasan itu Karan sempat kaget, anak sekecil itu dengan rela mengorbankan dirinya demi saudaranya yang juga membencinya.

Ah sudah lah, Bara tak sabar untuk menjemput Bunda Karin.

๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏๏_๏

Jadi ini nama-nama anaknya bapak Karandra Maheswara

1. Benedict Orion Maheswara (Ion)
2. Brama Elliot Maheswara (El)
3. Aldebara William Maheswara (Al)

Next?

Arka PutraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang