Chapter 9 - Ajakan Menikah

114 17 2
                                    

Di dalam pelukan lelaki itu, Naifa hanya bisa meluapkan emosinya dengan menangis. Ia benar-benar kecewa dengan sikap Randi yang memperlakukannya seperti tadi.

Perlahan suara isak tangis Naifa mereda. Ia pun melepaskan pelukannya dan menatap nanar ke arah lelaki yang sudah menolongnya itu. "Maaf, Mas. Saya nggak bermaksud seperti itu." Naifa berupaya untuk berdiri, lelaki itu melakukan hal yang sama. "Terima kasih karena Mas udah menolong saya."

"Sama-sama, Naifa. Apa kamu baik-baik saja, Nai?" Lelaki itu tampak sangat khawatir dengan keadaan Naifa.

Naifa hanya menjawab dengan menganggukkan kepalanya. Sebenarnya Naifa berniat untuk langsung pergi setelah ia mengucapkan terima kasih, namun niat itu ia urungkan saat melihat wajah lelaki itu penuh dengan luka lebam.

"Mas Farzan punya kotak obat?"

Ya, lagi-lagi yang menolong Naifa adalah Muhammad Farzan Alhusyan. Seorang lelaki yang selalu ingin Naifa hindari. Seakan takdir benar-benar ingin selalu mempertemukannya dengan sosok Farzan.

"Kotak obat? Oh ada di dalam mobil." Farzan berjalan ke arah mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya tadi. Naifa hanya mengikuti langkah Farzan. "Ini kotak obatnya, Nai. Buat apa memangnya?"

"Buat ngobatin luka di wajah kamu." Balas Naifa datar sambil tangannya menerima kotak obat tersebut.

"Saya bisa ngobatin sendiri kok, Nai." Farzan menolak dengan lembut.

"Saya tahu Mas seorang dokter. Tapi apakah bisa dokter mengobati dirinya sendiri? Enggak, kan? Mereka tetap membutuhkan orang lain."

Apa yang dikatakan Naifa adalah benar. Dokter juga manusia yang perlu bantuan orang lain jika sedang mengalami kesakitan pada dirinya sendiri. Tapi ini hanya luka kecil dan ia bisa mengobatinya sendiri. Farzan bermonolog dalam hatinya. Lalu Farzan hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Naifa.

Naifa menyuruh Farzan untuk duduk di kursi kemudi mobilnya. Di mulai dari sudut bibir Farzan yang masih mengeluarkan darah dan dengan telaten serta penuh kehati-hatian, Naifa mulai mengobati luka di wajah Farzan.

"Sakit ya, Mas?" Naifa bertanya di sela-sela kegiatannya mengobati luka lebam di wajah Farzan. Matanya masih terfokus meneliti setiap inch wajah Farzan.

"Nggak sih, Nai." Jawab Farzan santai. Sakit di wajahnya tidak sebanding dengan sakit hatinya kala melihat Naifa diperlakukan seperti itu dengan lelaki lain. Mata Farzan tak lepas dari sosok wajah seorang perempuan yang sangat dekat berada di depan wajahnya. Naifa benar-benar sangat cantik. "Aduh, sakit, Nai." Keluh Farzan ketika dengan sengaja menekan di bagian lukanya.

"Tadi bilangnya nggak sakit, tapi sekarang ngeluh kesakitan. Aneh."

"Kamu sih."

"Saya kenapa?"

"Cantik." Entah sadar atau tidak sadar, perkataan itu yang keluar dari bibir Farzan.

Naifa menanggapinya dengan tertawa renyah. "Saya nggak mempan ya dengan gombalan receh situ." Padahal Farzan tidak sedang menggombal. Apa yang dikatakannya tadi adalah sebuah Fakta bahwa Naifa memang memiliki wajah yang sangat cantik. Farzan hanya tersenyum melihat Naifa yang tertawa. "Aneh banget. Sekarang malah senyum-senyum sendiri. Mas Randi mukul bagian kepala Mas Farzan begitu keras ya? Apa jangan-jangan Mas Farzan gegar otak? Mending ke rumah sakit deh biar di cek lebih lanjut."

"Saya nggak gegar otak, Nai. Kepala saya baik-baik saja."

Naifa kembali memfokuskan matanya ke arah luka lebam di wajah Farzan. Ia membersihkan sisa-sisa darah yang sudah sedikit mengering di bagian pipi.

"Naifa?" Panggilan Farzan hanya dijawab oleh Naifa dengan berdeham. "Laki-laki tadi siapanya kamu?"

"Kenapa sih tanya-tanya? Kepo banget deh."

"Pacar kamu ya?" Farzan sengaja memancing Naifa untuk menjawab pertanyaannya.

"Bukan, udah nggak."

"Udah putus? Kenapa?"

"Selingkuh."

"Kamu atau mantan kamu yang selingkuh?"

"Saya kalau udah menjalankan suatu hubungan sama seseorang nggak akan main-main, apalagi sampai selingkuh. Mantan saya yang selingkuh. Ya namanya juga laki-laki, nggak akan cukup sama satu perempuan. Laki-laki paling setia yang saya tahu adalah hanya ayah saya, selebihnya semua laki-laki sama saja, tukang selingkuh."

Farzan tidak setuju dengan perkataan Naifa. "Nggak semuanya seperti itu, Nai. Saya nggak begitu kok."

"Masa sih? Saya kok nggak yakin ya. Kelihatan dari wajahnya gini seperti laki-laki yang suka mainin perempuan." Naifa berucap meremehkan.

"Perlu bukti?" Farzan menjeda sebentar ucapannya. Ia pun menstabilkan napasnya sebelum melanjutkan apa yang ingin ia sampaikan kepada Naifa. "Menikah dengan saya, Naifa."

Tangan yang semula masih berada di pipi Farzan, dengan seketika tangan Naifa berhenti di tempat. Lalu pandangannya berubah ke arah mata milik Farzan, memandangnya dengan lekat.

"Apaan sih. Jangan ngaco deh!" Naifa menatap dengan tajam ke arah Farzan. "Obati sendiri saja lukanya. Bisa sendiri kan. Saya mau pulang. Permisi." Tangan Naifa langsung melepas dari pipi Farzan dan kapas yang sebelumnya dipegang Naifa langsung diberikan kepada Farzan.

"Nai, tunggu!" Farzan mengejar Naifa yang sudah berjalan beberapa langkah.

"Apalagi sih?" Semenjak perkataan Farzan yang mengajaknya untuk menikah. Naifa semakin menjadi risih jika berdekatan dengan Farzan.

"Kalau mau pulang biar saya antar ya? Sekalian saya mau ke rumah kamu buat ketemu sama Azmi. Jadi biar bareng saja ke sananya, gimana?"

Naifa menatap Farzan dengan penuh curiga. "Ada keperluan apa sama kakak saya?" Naifa mendelik.

"Harus ya kamu tahu?"

Lelaki menyebalkan. Naifa geram dengan sikap Farzan. "Awas ya kalau ngomong macam-macam dengan kakak saya." Naifa lebih dulu mewanti-wanti Farzan.

Farzan hanya berdeham. "Jadi gimana kamu mau bareng apa nggak?"

"Ya sudah." Naifa terpaksa mengiyakan ajakan Farzan. Hitung-hitung ada tumpangan gratis untuk pulang.

Diperjalanan hanya keheningan yang tercipta. Mereka berdua sedang bergelayut dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya mobil Farzan berhenti di depan pagar rumah orang tua Naifa.

"Naifa?" Farzan memanggil Naifa ketika perempuan itu handak membuka pintu mobil dan keluar dari mobil.

"Apa lagi sih, Mas?" Naifa menoleh dengan malas.

"Ajakan saya untuk menikah itu serius. Tolong dipikirkan kembali ajakan saya ya."

"Dasar laki-laki aneh." Setelah berkata seperti itu, Naifa benar-benar keluar dari mobilnya Farzan. Ia langsung masuk ke dalam rumahnya.

***

To be continued

Salam,
Triays 🌸

Jalan Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang