Chapter 5 - Butuh Kepastian

150 17 2
                                    

Naifa tampak gelisah menatap layar ponselnya. Randi, kekasihnya belum juga ada kabar. Ini sudah pukul setengah sebelas malam, rasa kantuk belum juga melandanya. Yang ada rasa khawatir yang amat mendalam terhadap Randi.

"Kemana saja sih kamu, Mas."

Sudah berulang kali Naifa mencoba untuk menghubungi dan mengirim sebuah pesan kepada Randi, namun tak ada satupun panggilannya dijawab ataupun dibalas oleh seseorang yang ditujunya.

"Semoga kamu baik-baik saja, Mas."

Khawatir dan takut bercampur jadi satu. Tak biasanya Randi seperti ini. Biasanya dia selalu menghubungi Naifa meskipun lelaki itu sibuk. Tapi kini dia belum juga memberi kabar.

"Halo."

Akhirnya Naifa bisa bernapas lega setelah teleponnya di jawab oleh seseorang yang sedari tadi ditunggunya.

"Mas dari mana saja sih?" Naifa mulai bertanya tanpa basa-basi. Ia sudah teramat khawatir dengan Randi.

"Maaf ya, aku baru bisa hubungin kamu. Aku lagi di rumah sakit nih."

Naifa terkejut. "Kamu sakit, Mas?" Tanya Naifa dengan penuh kekhawatiran.

"Kamu tenang ya. Bukan aku yang sakit, tapi mamaku nih, Nai."

"Mama kamu sakit apa? Terus sekarang keadaannya gimana?"

"Biasalah penyakit orang tua dan keadaannya udah baik-baik saja kok, Nai. Eh, udah dulu ya, nanti aku telepon kamu lagi." Sambungan telepon itu langsung terputus begitu saja.

Naifa membuang napasnya kasar. "Belum juga aku jawab. Dia udah matikan saja teleponnya." Sebelum telepon itu dimatikan, ia sempat mendengar suara perempuan memanggil Randi. Naifa mencoba berpikir positif, mungkin saja itu adalah suara mamanya.

Daripada memikirkan hal yang belum tentu benar adanya. Lebih baik Naifa tidur dan besok ia mencoba untuk mengajak ketemuan dengan Randi.

Keesokan harinya. Pukul setengah lima, alarm di ponsel Naifa berbunyi. Ia terbangun dan berniat untuk mandi lalu shalat subuh.

"Airnya dingin banget. Nanti saja lah mandinya." Ucap Naifa saat air mengenai tangannya. Ia pun berniat untuk wudhu saja lalu mengerjakan shalat subuh saat adzan sudah terdengar di telinganya.

Tak ada kegiatan lagi di dalam kamar, Naifa pun turun ke lantai bawah untuk pergi ke dapur. Biasanya uminya jam segini sedang di dapur untuk membuatkan sarapan.

"Ada yang bisa Naifa bantu, Umi?"

Syafa melihat ke sumber suara lalu tersenyum. "Anak Umi udah bangun. Udah mandi sama shalat subuh belum?"

"Tadi Nai mau mandi, cuma airnya dingin banget, ya udah Nai nggak jadi mandi. Tapi kalau shalat subuh udah Nai kerjakan kok, Umi."

Syafa tersenyum mendengarnya. "Alhamdullilah kalau udah shalat subuh. Jadinya Umi nggak perlu memaksa kamu lagi untuk shalat. Umi yakin, kamu udah tahu apa kewajiban kamu sekarang. Semoga terus seperti ini ya."

"Iya, Umi. Nai mencoba untuk menaati perintah Allah pelan-pelan. Doakan Nai terus ya, Umi."

"Selalu Umi doakan untuk semua anak-anak Umi." Syafa tersenyum tulus. Syafa sungguh bahagia dengan perubahan anak gadisnya yang semakin membaik.

Setelah beberapa menit berkutat di dalam dapur. Akhirnya masakan untuk menu sarapan pun sudah selesai diolah.

"Naifa tolong panggilkan Mas Azmi ya. Umi juga mau panggilkan Abi kamu." Titah Syafa kemudian Naifa hanya membalas dengan anggukan kepala. Ia pun berjalan menuju lantai dua menuju kamar sang kakak.

Jalan Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang