Chapter 12 - Bersedia Ta'aruf

109 18 1
                                    

Naifa sudah di pindahkan ke ruang rawat inap. Hingga waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi, Naifa baru sadarkan diri. Di dalam ruangan hanya ada ia dan kakaknya. Abi dan uminya sudah pulang lebih dulu sejam setelah Naifa di pindahkan ke ruang rawat.

"Kamu pingsan atau tidur sih, Dek?" Azmi terkekeh dengan pertanyaannya sendiri. Ia duduk di kursi samping ranjang Naifa.

Naifa mengerjapkan matanya sambil tangan sebelah kanannya memegang kepalanya, "Kepalaku pusing, Mas." Ucap Naifa lirih. Raut wajahnya meringis menahan sakit.

"Masih pusing? Jangan banyak pikiran, Dek!" Azmi memperingatkan Naifa dengan lembut dan tegas. "Mas panggilkan dokter ya." Lanjut ucapnya sambil bangun dari duduknya.

"Nggak mau. Aku mau pulang saja, Mas."

"Kamu akan pulang saat kondisi kamu benar-benar sehat."

"Aku udah sehat, Mas. Aku mau pulang."

"Sehat apanya kalau kamu masih meringis begitu!"

Naifa memejamkan matanya sejenak. "Umi dan Abi di mana?" Perlahan Naifa mulai merasakan sedikit berkurang rasa pusingnya.

"Semalam Mas suruh pulang ke rumah biar Mas saja di sini yang jagain kamu, nanti juga sebentar lagi umi dan abi ke sini. Lagian kenapa sih kamu bisa sampai pingsan segala?" Azmi kembali duduk dan tangannya terulur untuk menyentuh dahi Naifa. "Badan kamu juga udah hangat nggak seperti semalam yang panas benget, bikin khawatir saja."

"Aku juga nggak tahu, tiba-tiba kepalaku pusing."

"Kamu masih memikirkan Randi?"

Naifa menatap ke arah sampingnya. "Aku sama sekali tidak mikirin dia, Mas. Jujur awalnya aku kaget dan nggak terima Mas Randi nyakitin aku seperti itu dan aku mencoba merenungi semuanya. Mungkin ini cara Allah menegurku ya, Mas?" Penglihatan Naifa mulai buram karena air mata yang ia tahan agar tidak jatuh.

Azmi hanya diam dan hanya tersenyum. Tangannya beralih mengusap kepala Naifa dengan sayang. Bahkan ia sendiri pun sangat tidak menyangka Randi bisa melakukan hal diluar batas seperti itu kepada adiknya.

"Ternyata benar kata Dhiandra jika pacarmu belum tentu jodohmu. Dhiandra dan Salma selalu menasihati aku tentang pacaran yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Aku menyesal tidak mendengarkan nasihat mereka, padahal mereka seperti itu karena sayang sama aku agar aku tidak terjerumus lebih dalam dari kemaksiatan."

Naifa meraih tangan Azmi untuk di genggamannya. "Maafkan aku, Mas. Padahal Mas selalu memperingatkan aku kalau Randi sudah selingkuh dari aku. Tapi aku justru tidak percaya kepada Mas dan lebih memilih percaya kepada Randi." Setetes air mata perlahan jatuh dari kelopak mata Naifa yang indah.

"Ya, nggak apa-apa kok. Yang terpenting bagi Mas, kamu sudah menyesali semuanya." Azmi tersenyum lebar dan matanya memandang mata Naifa lekat. "Nai, minta maaflah kepada umi dan abi, karena kamu selalu membohongi mereka. Terlebih yang sangat penting, minta pengampunan kepada Allah."

Naifa mengangguk dengan patuh.

"Dek, kalau kamu bukan mikirin Randi. Terus, kamu mikirin siapa sampai kepala kamu pusing dan pingsan pula?"

"Apa sih, Mas. Aku nggak mikirin siapa-siapa kok." Naifa mengelak. Padahal yang sebenarnya adalah Naifa memang sedang memikirkan seseorang.

"Masa sih? Coba Mas tebak ya." Azmi memasang ekspresi wajah seperti orang yang sedang fokus berpikir. Naifa mendelik sebal ke arah kakaknya. Azmi berdeham sebelum melanjutkan kalimatnya. "Hem, Farzan ya?" Azmi menebak yang sepertinya tepat sasaran.

Naifa tersentak dengan apa yang barusan kakaknya katakan. "Apaan sih! Enggaklah." Hanya itu yang keluar dari bibir Naifa, ia pun mengarahkan pandangannya ke tempat lain, tak ingin menatap Azmi. Naifa juga tidak niat untuk mengatakan yang sebenarnya kepada kakaknya.

"Halah! Jangan bohong, Dek. Mas sudah tahu kok semuanya." Azmi menggoda adiknya dengan gemas.

"Tahu apa? Jangan bilang Mas Farzan mengatakan sesuatu yang macam-macam, ya?" Tannya Naifa penuh selidik. Kalau sampai terjadi, sudah di pastikan Naifa akan buat perhitungan dengan Farzan.

"Kenapa kamu tidak beritahu Mas, Dek?" Azmi menuntut penjelasan dari adiknya itu.

"Mas Farzan mengatakan apa saja kepada Mas?"

"Farzan mengajak kamu menikah, kan?"

Naifa sudah menduga Farzan akan mengatakan itu kepada kakaknya. Meskipun ia sudah memperingatkan Farzan untuk tidak mengatakan apapun kepada kakaknya, tetap saja Farzan melakukannya dan itu membuat Naifa kesal.

"Sudah aku tolak."

"Kenapa di tolak?"

"Teman Mas itu orang aneh, masa tiba-tiba ngajakin aku nikah." Sungut Naifa dengan nada kesal. "Lagipula aku dan dia belum sepenuhnya mengenal satu sama lain dan aku hanya ingin menikah sekali dalam hidupku, nggak mau salah dalam memilih pasangan."

Azmi menahan tawa saat mendengar perkataan Naifa yang menyebut Farzan adalah orang aneh, namun ia tidak menampilkan tawanya itu di depan adiknya. "Farzan itu bukan aneh, tapi itu adalah bentuk keseriusan dirinya kepada kamu, Nai."

"Tapi nggak secepat itu juga dong, Mas. Minimal perkenalan dulu lah." Sahut Naifa tidak terima.

"Kalau Farzan berniat ngajakin kamu ta'aruf dulu, apa kamu mau?"

Pertanyaan Azmi membuat Naifa bungkam. Sepertinya Naifa salah bicara kepada kakaknya itu. Sekarang Naifa harus menjawab apa?

"Nggak mau, Mas." Setelah diam hampir lima menit, akhirnya Naifa menjawab demikian.

"Kenapa? Kasih Mas alasan."

Naifa diam saja, karena ia pun tidak memiliki alasan untuk menolak ajakan ta'aruf dari Farzan. Entah mengapa Naifa melakukan hal itu, menolak Farzan dengan alasan yang tidak jelas.

"Tolakan kamu itu tidak berdasar, Dek. Kenapa nggak mau di coba dulu? Siapa tahu Farzan memang jodoh kamu." Naifa masih bergeming. Ia pun bingung harus merespon apa. "Mas tahu sekali bagaimana karakter Farzan, dengan begitu Mas juga yakin jika Farzan nantinya bisa membimbing kamu ke arah yang lebih baik lagi."

Farzan memang baik, Naifa akui itu. Tapi ini tentang hati, Naifa belum sepenuhnya yakin terhadap Farzan.

"Semenjak kejadian dua tahun lalu, Mas tidak pernah melihat Farzan dekat dengan perempuan manapun. Baru kali ini dia mau membuka hatinya lagi." Entah kenapa tiba-tiba Azmi membahas masa lalu Farzan.

Naifa mendongak menatap mata sang kakak dengan raut wajah penasaran. "Maksudnya gimana, Mas?"

"Dua tahun lalu, Farzan hampir menikah dengan seorang perempuan pilihannya."

"Mengapa akhirnya Mas Farzan nggak jadi menikah?"

"Alasannya Mas tidak tahu secara pasti. Tapi yang jelas, waktu itu Farzan sangat terpukul karena pihak perempuan tiba-tiba membatalkan pernikahan begitu saja satu jam sebelum acara ijab qobul akan dilaksanakan dan yang lebih mirisnya lagi dua hari kemudian Farzan mendapat kabar kalau perempuan itu menikah dengan laki-laki lain."

Naifa meringis mendengar cerita dari kakaknya dan ia pun merasa simpati. Ternyata Farzan pernah sepatah itu hatinya. Apa ia mencoba membuka hatinya untuk Farzan dan menerima ajakan ta'aruf darinya?

Di coba dulu tidak salah kan? Kalau pun ia dan Farzan tidak cocok, ia tidak akan melanjutkan proses perkenalannya.

"Mas, aku bersedia untuk menjalankan ta'aruf dengan Mas Farzan." Dengan penuh kesadaran Naifa mengucapkan itu.

Tanpa di sadari kakak-beradik itu, ada seorang perempuan yang tidak sengaja mendengar segala pembicaraannya dengan hati yang begitu perih dan sakit.

Ternyata benar, Naifa yang menjadi pasiennya saat ini adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang diceritakan oleh pria yang sangat ia cintai.

***

To be continued

Salam,
Triays 🌸

Jalan Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang