Chapter 3 - Ini Yang Disebut Takdir?

801 36 2
                                    

Sudah tiga malam Naifa kesulitan untuk tidur, dan malam ini Naifa kembali merasakannya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, namun Naifa belum juga mengantuk. Ia masih memikirkan perkataan Dhiandra saat di rumah sakit. Benar adanya, belum tentu Randi adalah jodohnya. Apalagi Randi belum pernah membahas tentang pernikahan kepadanya. Kini ia sedikit agak ragu dengan hubungannya bersama Randi.

Dan, ia tahu jika pacaran memang dilarang di dalam agamanya, karena begitu banyak dosa di dalam aktivitas tersebut, dan ia menyadari itu.

"Tapi kan aku nggak pernah ngapain-ngapain sama Mas Randi. Pacaranku juga sehat kok, dan aku juga masih tahu batasan." Itulah isi hati Naifa.

Bukan Naifa namanya jika dinasehati selalu banyak alasan untuk menyangkalnya. Beragam alasan akan ia katakan jika dinasehati tentang hubungan pacaran yang saat ini ia lakukan bersama Randi.

"Ah! Pusing. Daripada mikirin itu terus, mending aku tidur deh. Besok ada kuliah pagi."

Keesokan harinya. Pada pukul setengah lima, sang ibunda membangunkan Naifa untuk shalat subuh.

Sambil menepuk pelan bahu sang anak, Syafa berkata, "Nai, ayo bangun. Mandi habis itu shalat subuh."

Naifa bergeming, dengan mata yang masih terpejam ia menjawab perkataan ibundanya, "Lima menit lagi, Umi. Nai masih ngantuk."

Syafa menghela napas pelan. Sulit sekali untuk membangunkan Naifa. "Lima menit kamu itu artinya bisa berjam-jam kemudian. Buruan bangun, mandi habis itu shalat subuh."

"Iya, Umi, nanti Nai lakukan kok. Janji cuma lima menit."

"Ya sudah, lima menit ya. Awas kalau kamu nggak bangun terus nggak shalat subuh, nanti Umi kasih tahu Abi."

"Iya, Umi." Naifa menyahut dengan mata yang masih terpejam. Kemudian sang ibunda keluar dari kamar anak perempuan satu-satunya itu.

Perlahan Naifa membuka matanya untuk melihat jam yang menempel di dinding, pukul setengah lima lewat sepuluh menit. Bukannya beranjak dari tempat tidur, justru Naifa kembali menarik selimut dan kembali memejamkan matanya. Ia benar-benar menghiraukan perkataan ibundanya.

***

"Ok baiklah, saya akan ke sana sekarang." Tutup Farzan saat menerima telepon dari salah satu rekan kerjanya di rumah sakit.

Dengan segera ia pergi ke rumah sakit dengan menggunakan mobil pribadinya.

Tak sengaja matanya melihat sebuah benda berwarna ungu di bawah jok mobilnya. Sebuah dompet.

"Dompet siapa ini?" Lantas Farzan membuka dompet tersebut untuk menemukan identitas pemiliknya. "Naifa Rizan Nuraisha." Farzan membaca sebuah nama yang terdapat di kartu mahasiswa pemilik dompet tersebut. "Jadi ini milik perempuan itu. Dan ternyata dia adalah mahasiswa fakultas kedokteran." Sekali lagi Farzan memperhatikan kartu mahasiswa itu, dan kemudian memasukan kembali ke dalam dompet lalu menyimpannya di dalam tasnya.

***

Syafa masuk ke dalam kamar Naifa dan mendapati sang anak masih tertidur pulas. "Astagfirullah. Naifa! Ini udah jam delapan, kamu belum bangun juga."

Mata Naifa terbelalak mendengar ucapan Syafa. Ia langsung bangun. "Kenapa Umi nggak bangunin Naifa? Nai ada kuliah pagi, Mi." Naifa terlihat panik.

"Umi udah bangunin kamu loh dari jam setengah lima. Apa jangan-jangan kamu nggak shalat subuh lagi ya?"

Naifa menunduk takut, "Nai ketiduran, Umi. Soalnya Nai ngantuk banget tadi."

"Kamu pasti ada saja alasannya. Kalau Abi kamu tahu, habis kamu kena omelan Abi."

Jalan Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang