Tinggal seminggu lagi pernikahan Farzan dan Naifa akan dilaksanakan. Undangan juga sudah di sebarkan sebagian.
Hari ini Naifa akan ke kampus sekaligus ia akan memberikan undangan tersebut untuk kedua sahabatnya. Mereka juga berhak tahu tentang pernikahannya dengan Farzan.
Naifa juga sudah menyiapkan mental jika Salma maupun Dhiandra banyak bertanya tentang apa yang terjadi dengan dirinya dan Farzan.
Dengan langkah pelan Naifa memasuki ruang kelasnya. Untung saja kelas masih sepi, hanya ada beberapa teman-temannya yang sudah datang dan Naifa bersyukur karena Dhiandra dan Salma sudah berada di dalam kelas.
Naifa menyodorkan dua undangan pernikahan di hadapan Salma dan Dhiandra. Keduanya menatap Naifa dengan bingung.
"Apa ini, Nai?"
"Undangan."
"Iya, maksudku undangan apaan?"
"Undangan pernikahan, Salma."
"Mas Azmi mau menikah?"
Naifa hanya diam. Salma dan Dhiandra masih saja menatapnya dengan ekspresi bingung. Keduanya langsung melihat ke arah undangan yang diberikan oleh Naifa.
Tertera di undangan tersebut nama mempelai lelaki maupun perempuan nya. Salma dan Dhiandra menatapnya tak percaya.
Naifa Rizhan Nuraisha dan Muhammad Farzan Alhusyan
"Nai, ini undangan pernikahan kamu?" Salma bertanya seakan menuntut penjelasan dari yang bersangkutan.
"Iya. Maaf kalau aku baru memberitahu kalian sekarang."
"Sebentar deh, kamu menikah dengan Farzan? Dokter yang waktu itu bertengkar sama kamu?"
"Iya, Salma." Naifa menjawab seraya menganggukkan kepalanya.
"Bukannya udah kamu tolak ya, Nai?" Dhiandra ikut bertanya. "Kok bisa kamu mau menikah dengan laki-laki itu?"
"Iya, Dhi, waktu itu sempat aku tolak. Tapi aku melihat dari keseriusan dia padaku, akhirnya aku menyetujui menikah dengannya."
"Kamu nggak terpaksa, kan?"
"Nggak kok, Dhi, aku menerima lamaran dia dengan hati yang yakin tanpa paksaan dari manapun. Justru aku yang bertanya kepadanya, kalau dia benar mau serius sama aku, kapan mau melamar ku. Saat aku tanya begitu, besoknya dia benar-benar datang dengan keluarganya."
"Kamu cinta sama dia?"
Naifa hanya diam. Ia bingung harus menjawab apa, karena nyatanya ia sendiri pun masih bingung dengan perasaannya kepada Farzan. Dan Naifa hanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Dhiandra.
"Kamu nggak cinta? Bagaimana bisa kamu menikah dengan lelaki yang tidak kamu cintai, Naifa?" Salma menyahut dengan cepat.
Naifa menatap sekilas ke arah Salma tanpa ingin menjawab pertanyaannya, lalu beralih menatap Dhiandra. "Aku mau tanya sama kamu, Dhi. Apa waktu kamu menerima lamaran suamimu, kamu sudah mencintai dia?"
"Aku belum mencintai dia waktu itu. Kamu tahu sendiri, Mas Haidar tiba-tiba datang ke rumah tanpa aba-aba langsung menghadap ayahku untuk melamar."
"Apa yang membuat kamu yakin untuk menerima lamaran suamimu?"
"Karena agamanya. Mas Haidar itu teman dari kakakku. Jadi aku tahu sedikit tentang dia waktu itu, karena sering main ke rumah dengan Bang Galih. Kakak maupun orangtuaku setuju jika aku menikah dengannya, ya udah nggak ada alasan untuk aku menolak lamaran dia. Walau saat itu rasa cinta belum ada."
"Sekarang udah cinta belum dengan suamimu?" Naifa terus memberondong pertanyaan demi pertanyaan kepada Dhiandra.
"Alhamdulillah, untuk saat ini aku sudah mencintainya." Dhiandra membawa tangannya untuk mengelus perutnya yang sedikit mulai membuncit, "Dan ini adalah bukti dari kisah cinta kita berdua." Dhiandra tersenyum.
Naifa ikut tersenyum. Terjawab sudah semua pertanyaan yang dari tadi mengganjal hatinya. Ia pun menatap Salma, "Mungkin rasa cintaku kepada Mas Farzan belum tumbuh saat ini, namun aku selalu berdoa agar Allah segera menghadirkan rasa cinta di dalam pernikahan kami nanti."
Salma maupun Dhiandra tersenyum dengan ucapan Naifa. Keduanya bersyukur karena Naifa menikah dengan laki-laki seperti Farzan. Mereka yakin jika Farzan bisa membimbing Naifa untuk terus dekat dengan Allah.
"Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu, Nai."
"Apapun pilihan kamu, kita selalu dukung kok. Dan aku yakin Dokter Farzan memang orang baik yang tentunya bisa membawa perubahan lebih baik untuk kamu."
"Terima kasih. Kalian memang benar-benar sahabat terbaikku." Jawab Naifa sambil tersenyum. Ia sangat bersyukur dengan kehadiran Salma dan Dhiandra di hidupnya.
***
Perkuliahan hari ini selesai, ketiga perempuan cantik itu sudah berjanji untuk pergi ke sebuah cafe hanya untuk sekedar melepaskan penat. Kini, mereka bertiga sudah sampai di sebuah cafe yang tidak terlalu jauh dari kampus.
"Sebentar lagi ujian akhir semester, setelah itu pasti kita udah jarang untuk kumpul bertiga kayak gini. Apalagi Naifa sebentar lagi akan menikah sedangkan Dhiandra sudah punya suami."
"Kita masih bisa kok kumpul-kumpul kayak gini, Salma." Naifa berucap untuk menghibur Salma yang terlihat sedih.
"Iya, tapi mungkin nggak akan sesering ini. Kamu itu sebentar lagi statusnya akan berubah menjadi seorang istri dan prioritas kamu itu ya suami kamu nantinya." Salma membalas ucapan Naifa.
"Ya, pasti nggak akan sesering ini. Tapi, sesekali kita bisa kok kumpul bertiga seperti ini." Dhiandra menimpali.
Salma hanya mengangguk saja, "Semoga kita bisa wisuda sama-sama ya nanti. Tinggal satu semester lagi dan nyusun skripsi."
"Seperti janji kita waktu itu, wisuda di waktu yang tepat dan wisuda sama-sama. Semoga dilancarkan semuanya." Dhiandra menggenggam tangan Naifa dan Salma.
Pesanan ketiganya sudah sampai di atas meja yang sebelumnya sudah mereka pesan. Mereka pun menikmati pesanannya.
"Dhi, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?"
Dhiandra yang baru saja selesai memakan makanannya langsung menoleh ke arah samping, tepatnya menatap Naifa. "Tanya apa?"
"Kamu kan saat ini lagi hamil ya. Setelah kita lulus kuliah kedokteran, apa kamu akan melanjutkan untuk mengambil program profesi?"
"Koas? Sebelum aku dan suamiku memutuskan untuk mempunyai anak, kami sudah diskusi. Mas Haidar memberikan kepercayaan sepenuhnya kepadaku dan aku memutuskan untuk melanjutkan mengambil program profesi."
"Kamu juga, kan, Nai?" Salma menimpali.
Naifa diam sebentar. "Untuk itu aku masih belum tahu, Sal. Aku belum diskusi dengan Mas Farzan, nanti saja kalau udah nikah aku bicarakan sama dia."
"Apapun itu keputusannya kami berdua selalu mendukung kamu kok." Dhiandra dan Salma menggenggam tangan Naifa.
Naifa hanya tersenyum dan melanjutkan makan yang sempat tertunda.
"Hai, Nai. Boleh gabung?"
Ketiga perempuan itu menoleh ke arah sumber suara. Dhiandra dan Salma membalas dengan tersenyum, sedangkan Naifa hanya diam dan menunduk dengan risih saat Salma mengizinkan lelaki itu duduk di bangku kosong yang tepatnya duduk di depannya.
***
To be continued
Salam
Triays 🌸
KAMU SEDANG MEMBACA
Jalan Takdir Terindah
Romance"Aku punya masa lalu dan kamu pun punya masa lalu. Aku tidak mempermasalahkan masa lalu kamu, karena yang terpenting bagiku, kamu adalah masa depanku yang harus selalu aku jaga dan aku bimbing hingga ke Jannah-Nya." - Muhammad Farzan Alhusayn - "All...