Chapter 19 - Lamaran

95 14 0
                                    

Sudah satu jam berlalu, namun kehadiran Farzan tak kunjung datang. Mama dan Papa Farzan merasa tak enak dengan keluarga Naifa karena anaknya akan datang sangat terlambat.

Keluarga Naifa pun memaklumi pekerjaan Farzan, karena berhubungan dengan nyawa manusia dan itu lebih penting.

Sekitar 10 menit setelahnya, akhirnya ada seseorang yang mengetuk pintu. Yang di yakini oleh semua orang di dalam itu adalah Farzan.

Benar saja. Saat pintu rumahnya di buka oleh Azmi, di balik pintu itu sudah ada Farzan yang sedang berdiri dengan setelan jas putih yang masih melekat di tubuhnya.

"Sorry ya. Gue telat banget, Mi."

"Tadinya kalau lo masih belum datang juga, lamarannya mau gue batalin saja." Azmi berucap sinis.

Farzan tersentak dan menggeleng kuat. "Tega benget lo sama gue," cicit Farzan. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan orang yang sedang frustasi.

Tawa Azmi begitu nyaring melihat ekspresi wajah Farzan. "Gue bercanda."

Farzan mengembuskan napas lega. "Kirain gue beneran. Takut gue kalau lo beneran mau batalin," ucap Farzan dengan jujur atas apa yang dirasakannya tadi.

Azmi terkekeh mendengar ucapan Farzan barusan. "Ya udah, masuk." Kemudian Azmi mengajak Farzan ke arah ruang tamu.

"Assalamualaikum." Farzan mengucap salam.

"Wa'alaikumussalam." Semua yang ada di sana menjawab salam.

Naifa mendongakkan wajahnya dan bertemu tatap dengan Farzan yang saat itu juga sedang melihat ke arahnya. Hanya berlangsung lima detik, keduanya tersadar dan memalingkan wajah mereka ke arah lain.

Farzan mencium punggung tangan orang tuanya lebih dulu dan kemudian beralih mencium punggung tangan orang tua Naifa dengan sopan.

"Maaf ya, Farzan datang terlambat, Bu, Pak." Farzan berucap kepada Umar dan Syafa.

"Iya, tidak apa-apa. Kami memaklumi kok, Zan." Umar tersenyum sambil menyahuti perkataan Farzan.

Farzan balas tersenyum. Ia duduk di samping Mama dan Papanya sesaat setelah diizinkan untuk duduk oleh Umar.

"Nai ambilkan minum untuk Nak Farzan." Titah Syafa kepada anak perempuannya itu.

Naifa mengangguk patuh, kemudian ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Setelah membuat secangkir teh hangat, Naifa merasakan kegugupan dalam dirinya. Dengan langkah yang dipaksakan berani, akhirnya Naifa membawa minuman buatannya ke ruang tamu. Dalam diam Naifa menyimpan cangkir berisikan teh hangat itu di meja dekat Farzan.

"Terima kasih, Nai."

Naifa mengangguk dan tersenyum dalam diam. Lalu, ia mendudukkan dirinya lagi di samping Umi dan Abi nya.

"Di minum tehnya, Nak Farzan."

Farzan tersenyum sungkan, ia mengambil cangkir dan menyesapnya perlahan teh hangat buatan Naifa hingga tandas. Seketika ia merasakan kehangatan di dalam tenggorokannya.

"Mau tambah lagi teh hangatnya, Zan? Sepertinya Farzan sedang haus ya." Umar terkekeh pelan.

"Tidak, sudah cukup, Pak." Farzan kembali tersenyum sungkan.

Keheningan beberapa saat tercipta. Farzan sedang merangkai kata-kata di dalam hatinya. Di situasi seperti ini benar-benar membuat Farzan gugup dan lidahnya terasa sulit untuk mengucapkan maksud dari kedatangannya berserta keluarga.

Ini bukan kali pertamanya untuk Farzan melamar seorang perempuan. Jangan lupa, ia pernah hampir menikah namun tidak jadi. Meskipun demikian, di hatinya sangat merasakan kegugupan luar biasa. Apalagi perempuan yang akan ia lamar adalah Naifa, perempuan yang baru sebulan ini ia temukan dan ia kenal.

Jalan Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang