Chapter 8 - Mengakhiri

133 16 0
                                    

Hari ini akhirnya Randi bisa untuk diajak bertemu. Sudah tiga hari, Randi selalu susah untuk diajak bertemu dengan alasan sibuk dengan pekerjaan.

"Kamu jadi buat bertemu Randi hari ini?" Tanya Azmi sambil duduk di sofa di sebelah Naifa. Naifa yang sedari tadi sedang menonton televisi menoleh sebentar ke arah Azmi sambil menganggukkan kepalanya. "Ketemuan di mana? Mas antar saja ya?"

"Di kafe. Nggak perlu Mas biar aku naik taksi saja."

Azmi tampak khawatir dengan sang adik. "Mas hanya nganterin. Kalau untuk bertemu dengan Randi biar itu menjadi urusanmu, Mas nggak mau ikut campur. Mas khawatir kalau kamu pergi sendiri ke sananya. Mau ya Mas antar?"

Naifa menimbang sejenak tawaran Azmi. "Oke. Tapi janji cuma nganterin aku?"

"Mas tungguin sampai kamu selesai ngobrol dengan Randi. Biar kamu pulangnya juga sama Mas."

"Nggak mau. Aku maunya pulang sendiri saja. Habis nganterin aku, Mas langsung pulang saja."

"Mas khawatir, Dek."

"Nggak perlu khawatir, Mas. Kalau Mas nggak mau, ya udah. Aku bisa berangkat sendiri kok." Lalu Naifa bangkit dari duduknya.

"Mau ke mana?" Azmi mencegah Naifa pergi.

"Ke kamar. Lepasin tangannya, aku lagi kesal sama Mas."

Azmi menahan lengan Naifa lebih kuat, saat perempuan itu semakin berontak. "Ya udah Mas hanya mengantar. Tapi kalau udah selesai urusan sama Randi, kamu langsung pulang ya. Jangan lama-lama ketemuan sama Randi." Azmi mewanti-wanti Naifa.

"Iya, aku nggak lama-lama kok. Aku juga pengin cepat selesai urusanku dengan Mas Randi." Naifa keluar dari ruang keluarga. Ia pun bersiap-siap untuk bertemu dengan Randi.

***

Siang harinya. Kafe Bening, tempat yang selalu Naifa datangi bersama Randi, bisa dikatakan itu adalah tempat favoritnya dengan Randi. Di tempat itu pula Naifa hendak bertemu dengan Randi hari ini.

"Maaf nunggu lama."

Randi tersenyum ketika Naifa sudah tampak di hadapannya. Perempuan itu langsung duduk di depan Randi. "Nggak apa kok, sayang. Ohya, kamu mau pesan apa?" Randi menunjukkan buku menu dihadapan Naifa.

"Aku nggak mau pesan apa-apa, Mas. Aku ke sini cuma sebentar kok."

Jawaban Naifa membuat alis Randi terangkat satu. "Kok sebentar sih, Nai? Aku kan masih kangen kamu. Memangnya kamu mau kemana sih buru-buru gini?"

"Aku nggak mau kemana-mana kok. Bisa kita mulai langsung ke intinya saja, Mas. Ada yang mau aku bicarakan, ini penting."

Randi tak mengerti maksud Naifa. Dari pandangannya, sikap Naifa tampak berubah hari ini, tidak seperti Naifa yang ia kenal dulu. "Mau bicarakan apa, sayang?"

"Aku mau kita putus!"

Pernyataan itu lantas membuat Randi terkejut. "Putus? Kenapa tiba-tiba kamu mau putus dariku, Nai? Salahku apa? Apa karena waktu itu aku belum bisa kasih kamu kepastian, jadinya kamu minta putus dariku, Nai?" Randi memberondong Naifa dengan begitu banyak pertanyaan.

"Salah satunya memang itu, karena aku nggak mau lama-lama lagi untuk menjalankan hubungan yang salah seperti ini. Tapi ada alasan lain yang membuat aku harus memutuskan hubungan ini." Naifa diam sebentar, ia mengatur napasnya terlebih dahulu. "Kamu selingkuh, dan hal itu nggak bisa aku terima."

Lelaki yang berada di hadapan Naifa langsung menarik paksa lengan Naifa dan membawanya keluar kafe, sebelumnya ia mengeluarkan selembar uang bernominal seratus ribu dan menyimpannya di atas meja untuk membayar pesanannya.

Jalan Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang