Chapter 4 - Permintaan Maaf

479 34 1
                                    

Naifa menghempaskan tubuhnya di kasur. Hari ini sungguh menjadi hari yang paling menyebalkan sekaligus melelahkan untuk Naifa. Pertama, ia terlambat masuk kelas Pak Riyan. Kedua, ia juga kembali bertemu dengan laki-laki menyebalkan itu.

Baru saja Naifa ingin memejamkan matanya. Suara ketukan pintu terdengar di telinga Naifa. Segera Naifa beranjak untuk membukakan pintu kamarnya tersebut.

Terdapat Syafa yang sedang berdiri tepat di depan pintu. “Ada apa, Umi?”

“Kamu udah shalat ashar belum?”

Naifa memperlihatkan gigi rapinya, “Ohiya, Nai lupa. Belum, Umi.”

Syafa sudah menduga jika anak gadisnya itu belum shalat ashar. “Langsung mandi setelah itu shalat ashar. Ini udah jam empat, nanti keburu waktu shalatnya kehabisan. Jangan ditunda lagi, paham kamu, Naifa?!”

Naifa menunduk takut, “Iya, Umi. Nai langsung lakukan.”

Setelah itu Syafa kembali menuju lantai bawah. Sedangkan Naifa menuruti perintah uminya untuk mandi dan shalat ashar.

Meskipun Naifa dibesarkan dari keluarga yang paham akan agama. Tetapi, Naifa masih belum tergerak hatinya untuk melakukan apa yang menjadi perintah Allah. Ia masih sering melakukan hal-hal yang mungkin merugikan untuk dirinya sendiri. Seperti ia belum menggunakan hijab, sering menunda shalat atau pun meninggalkan shalat, dan kini ia masih melakukan hubungan yang haram bersama Randi, yaitu berpacaran. Untuk hal berpacaran, orang tua Naifa tidak tahu akan hal tersebut.

Bukan Allah tidak memberikan hidayah, hanya saja Naifa belum menjemput hidayah itu sendiri. Hatinya masih belum tergerak untuk meninggalkan kemaksiatan.

Usai menjalankan shalat ashar, Naifa kembali menghempaskan tubuhnya di kasur. Namun suara ketukan pintu kamarnya terdengar kembali. Naifa hanya bisa menghela napas lalu bangkit untuk membukakan pintu kamarnya.

“Nai udah shalat kok, Umi.” Ucap Naifa terlebih dahulu sebelum Syafa menanyakan demikian.

“Iya, Umi percaya kok kamu udah shalat. Umi boleh masuk ke dalam kamar kamu?” Naifa mengangguk sambil mempersilakan Syafa untuk masuk ke dalam kamarnya.

“Umi pasti mau marah ya sama aku?” Tanya Naifa sambil ikut duduk di tepi ranjang, di sebelah Syafa.

Syafa hanya tersenyum mendengar pertanyaan anak gadisnya. “Naifa sekarang usianya udah berapa?”

“Dua puluh tahun, Umi.”

“Nai itu udah bukan anak kecil lagi. Nai udah besar, udah bisa memilih mana yang baik dan buruk untuk diri kamu sendiri. Untuk masalah shalat juga, Nai harus punya kesadaran sendiri, jangan terus-terusan maunya di suruh saja baru mengerjakan shalat. Shalat itu tanggungjawab kamu sebagai seorang muslimah. Allah itu nggak butuh shalat kita, tapi kita yang butuh Allah.” Dengan kelembutan Syafa berbicara demikian. Naifa hanya diam dan air matanya perlahan menetes.

“Maafkan, Nai. Nai belum bisa menjadi anak yang Umi dan Abi harapkan. Nai selalu saja membuat kalian kecewa atas perlakuan Naifa. Nai sungguh minta maaf, Umi.” Naifa menunduk saja, tak berani menatap wajah sang ibu.

“Dalam hal shalat, minta ampun kepada Allah, Nai. Minta ampun dengan sungguh-sungguh kepada Allah bukan ke Umi. Kalau Umi Insyaallah sudah memaafkan kesalahan anak-anak Umi sebelum kalian minta maaf duluan.”

***

Farzan terus saja memandangi dompet berwarna ungu tersebut. Ia bingung harus mengembalikannya bagaimana. Apa ia harus mengikuti Saran Zerlinda untuk pergi ke rumah Naifa.

“Lagi melamunin apa sih, Zan?” Suara Hanan menginterupsi lamunan Farzan. Farzan menyimpan dompet tersebut di atas meja kerjanya. “Sejak kapan kamu pakai dompet perempuan, Zan?” Hanan terkekeh.

“Ini bukan punya saya, Han.”

“Lantas punya siapa?”

“Ini punya perempuan yang waktu itu, Han.”

“Kok bisa sama kamu dompetnya?”

“Kayaknya jatuh di mobil saya waktu mengantarnya pulang malam itu.”

“Kenapa nggak kamu kembalikan saja dompetnya?”

“Niat saya juga mau mengembalikan. Tapi saya bingung caranya gimana ya?”

“Kenapa bingung? Kamu kan tahu alamat rumahnya, ya kamu tinggal ke rumahnya saja.”

Memang kelihatannya mudah sekali dengan apa yang menjadi permasalahan Farzan saat ini. Namun bagi Farzan adalah suatu masalah yang amat sangat membingungkan.

“Baiklah, nanti selesai praktik saya coba pergi ke rumahnya.” Akhirnya Farzan memutuskan untuk pergi ke rumah Naifa.

“Nah udah selesai kan permasalahan. Ohiya, Zan, walaupun perempuan itu galak tapi dia cantik ya.” Hanan terkekeh.

“Semua perempuan pasti cantik, Han.”

“Iya, tapi dia tuh beda. Kamu nggak tertarik gitu sama dia?” Hanan kembali terkekeh.

“Udahlah, jangan bahas dia lagi. Saya ada praktik di ruang anggrek, saya ke sana dulu ya.” Farzan segera beranjak dari tempatnya.

“Awas hati-hati, Zan. Nanti kamu bisa jatuh cinta sama perempuan itu.” Farzan hanya menatap sekilas Hanan yang sedang tertawa sambil menggelengkan kepala pelan.

***

Tiga jam kemudian, Farzan sudah sampai di depan pagar rumah Naifa. Namun ia masih bimbang apakah ia masuk atau tidak.

Akhirnya Farzan memutuskan untuk masuk ke dalam dan mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam.

“Wa’alaikumussalam.” Perlahan pintu terbuka. Menampilkan sosok Naifa yang berdiri di depan Farzan. Naifa mengerutkan dahinya saat melihat Farzan. “Mas ngapain ke rumah saya?” Tidak ada jawaban dari Farzan. Naifa berulang-ulang memanggil sambil melambaikan tangan di depan wajah Farzan. “Kalau nggak ada keperluan, saya tutup lagi ya pintunya.”

Farzan tersentak dan tersadar dari lamunannya. “Eh, iya, Mbak.”

“Ada apa ke sini?”

Farzan mengeluarkan dompet milik Naifa dari dalam tasnya. “Saya mau mengembalikan dompet, Mbak.”

“Loh kok bisa sama Mas dompet saya?” Naifa mengambil alih dompetnya.

“Waktu saya mengantar Mbak malam itu, sepertinya dompet Mbak jatuh di mobil saya.”

“Saya pikir dompet saya di ambil sama preman yang kemarin. Untung masih ketemu nih dompet. Ini dompet kesayangan saya soalnya ini hadiah dari pacar saya.” Farzan hanya diam mendengarnya. Kini hatinya seakan tidak menerima jika ia mengetahui Naifa sudah mempunyai kekasih. “Terima kasih ya udah mau mengembalikan dompet saya.” Naifa berucap tulus nan lembut sambil tersenyum.

Farzan melihat dengan jelas senyuman Naifa. Ia pun ikut tersenyum dalam diam. “Sama-sama, Mbak.”

“Udah kan? Atau masih ada keperluan lagi sama saya?” Tanya Naifa. Karena Farzan belum juga beranjak meninggalkan rumahnya.

“Ada. Soal waktu itu, saya mau minta maaf atas perkataan saya. Maaf jika saya menyakiti hati Mbak dengan kata-kata saya malam itu. Sungguh saya menyesal dan sungguh saya minta maaf.”

“Lupakan sajalah kejadian itu. Udah saya maafkan juga kok.”

“Kalau begitu saya pamit, Mbak. Assalamualaikum.” Farzan tersenyum kecil.

“Wa’alaikumussalam.” Naifa kembali masuk ke dalam rumahnya saat Farzan mulai meninggalkan area sekitar rumahnya.

Naifa sungguh bahagia. Dompet yang ia kira di ambil preman waktu itu, kini udah balik ke dirinya. Dompet yang amat sangat Naifa sayangi karena itu adalah pemberian dari Randi.

***

Happy Reading semuanya

Salam,
Triays 🌸

Jalan Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang