Chapter 10 - Ditolak

113 18 1
                                    

"Kenapa sama Naifa, tuh?" Azmi heran dengan raut wajah yang ditampilkan oleh sang adik. Panggilannya pun tadi tak dihiraukan oleh Naifa, perempuan itu pergi berlalu begitu saja memasuki rumah. "Tapi kok lo bisa bareng Naifa sih, Zan? Itu juga kenapa wajah lo penuh luka begitu? Habis berantem lo?"

"Tanyanya satu-satu, Mi. Lo nggak ada niatan buat gue nyuruh masuk gitu? Ya kali kita ngobrolnya berdiri di depan pager gini." Farzan seakan menyindir Azmi.

Sedangkan Azmi tertawa saja. Ia lupa menawarinya untuk masuk ke dalam rumah, karena sudah terlalu mengkhawatirkan kondisi sang adik. "Jadi gimana kok lo bisa bareng Naifa ke sini?" Tanya Azmi ketika ia dan Farzan telah duduk di teras. "Setahu gue Naifa lagi ketemuan sama Randi."

"Jadi lo tahu Naifa pergi ketemuan sama laki-laki itu?"

"Tahu, gue yang nganterin dia ke kafe bening. Kenapa sih? Randi nggak berbuat macam-macam kan sama adik gue?" Tanyanya penuh selidik.

"Naifa hampir dilecehkan sama mantannya itu." Azmi sangat terkejut. "Gila ya, ada orang sebrengsek dia." Farzan berusaha menahan emosinya lagi ketika mengingat kejadian tadi. Azmi tidak menyangka Randi akan berbuat senekat itu. "Kebetulan gue juga lagi di sana dan nggak sengaja mendengar teriakan perempuan minta tolong yang ternyata itu adalah Naifa."

"Ini penyebab wajah lo jadi kayak gini?"

"Ya, karena gue nggak terima ada perempuan yang dilecehkan seperti itu oleh laki-laki macam Randi. Luka di wajah gue nggak seberapa sakitnya dibanding melihat Naifa hampir dilecehkan seperti itu."

Azmi mengusap wajahnya dengan kasar. Lagi-lagi ia merasa gagal menjaga sang adik. "Besok gue mau ajak Randi ketemuan. Gue nggak terima Naifa diperlakukan seperti itu sama Randi."

"Jangan memperpanjang masalah, Mi. Nanti malah tambah ruwet permasalahannya. Gue paham kok apa yang lo rasakan. Gue juga punya adik perempuan yang usianya nggak jauh berbeda dengan Naifa. Tetap tenang, jangan mengambil keputusan yang nantinya malah memperburuk keadaan."

"Terus gue harus gimana, Zan? Gue merasa menjadi kakak yang nggak berguna buat Naifa. Lagi-lagi gue gagal buat menjaga dia dengan baik." Azmi mengacak rambutnya frustasi.

Farzan menepuk pundak temannya itu. "Jangan berbicara seperti itu, Mi. Gue tahu lo udah berusaha keras untuk menjaga Naifa dengan sangat baik."

Azmi mengangkat wajahnya yang sedari tadi menunduk lalu menatap wajah Farzan. "Terima kasih, Zan. Lo udah dua kali menyelamatkan kehidupan Naifa. Gue berhutang budi banget sama lo, Zan."

"Sama-sama. Gue melakukan itu karena dasar kemanusiaan kok." Farzan diam sebentar. Ada hal yang ingin ia katakan kepada Azmi. "Dan, Mi, gue," ucapan Farzan menggantung. Azmi menatapnya penasaran. "Gue cinta sama Naifa, Mi." Entah kapan perasaan itu muncul. Namun sungguh, perasaan itu benar-benar nyata, ia telah jatuh cinta kepada Naifa dan ia ingin kelak Naifa lah yang akan menjadi pendamping hidupnya.

Reaksi Azmi setelah mendengar pengakuan Farzan adalah terkejut, sungguh terkejut. "Lo serius dengan ucapan lo barusan?" Azmi masih tidak percaya jika Farzan ternyata diam-diam menaruh rasa terhadap adiknya.

"Apa gue terlihat main-main? Gue sungguh serius. Bahkan tadi sebelum gue nganterin dia ke sini, gue udah mengutarakan keinginan gue buat ngajakin dia menikah."

Azmi semakin kaget mendengar ucapan Farzan. "Gila! Gerak cepat amat si, Zan! Bahkan lo tahu, adik gue hari ini baru putus sama Randi dan lo bisa-bisa ngajakin dia menikah di hari yang sama pula."

"Ya, gimana, Mi, gue takut jika gue nggak bisa mengendalikan diri. Gue nggak mau menambah dosa. Gue nggak mau perasaan yang gue punya buat Naifa, justru membawa gue dan Naifa ke dalam kemaksiatan."

Jalan Takdir TerindahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang