Penting !
© Cerita ini hanya fiksi belaka. Kesamaan nama, tempat dan waktu tidak melatari cerita sejarah apapun.Pagi ini cerah. Mentari bersinar cukup terik. Sabrina membawa telapak tangannya kedepan wajah. Guna menghalau sinar matahari yang sedikit menyilaukan mata. Angin sepoi membelai kulitnya lembut. Mengibar-ngibarkan anak rambut beserta gaun yang Sabrina kenakan.
Sabrina mengenakan terusan gaun sederhana berwarna biru muda yang dipadukan topi lebar khas musim panas dengan warna senada. Sarung tangan putih yang melingkupi kedua tangannya hingga siku semakin mempermanis penampilannya pada hari ini.
Pandangan Sabrina berkeliling sebelum perhatiannya jatuh pada satu tempat. Mata Sabrina menyipit kala menatap bangunan tua di depannya. Sebuah kastil luas yang terkesan suram.
Sabrina tersenyum, yang mana berupa senyuman dingin dengan berjuta makna tersirat dibaliknya.
Sebelum memutuskan untuk menghadiri kompetisi terakhir festival berburu musim panas di Hutan Hellarbos. Sabrina meminta pada kusir kediaman Duke of Avondale terlebih dulu untuk mengantarkannya ke tempat dimana Isabella ditahan. Sabrina berniat mengunjungi kakak tirinya itu. Berbekal izin dari ayahnya dan beberapa camilan di keranjang yang di bawakan Matilda, Sabrina memutuskan untuk segera memasuki kastil suram yang terletak tidak jauh dari istana. Tempat yang menjadi penjara Isabella.
Sabrina melangkah arogan memasuki bangunan pengap dengan berbagai macam jeruji besi di baliknya. Diikuti dua orang penjaga kastil. Tangannya menyusuri sepanjang dinding, merasakan sendiri sensasi dinginnya tembok di sana. Cahaya matahari sulit menembus tempat tersebut. Sungguh kawasa yang sangat cocok bagi setan Isabella.
Sabrina tiba di depan sel Isabella. Memandang datar kakaknya yang sekujur gaunnya telah kotor oleh tanah. Sabrina tak mengira sebelumnya jika kondisi Isabella akan semenjijikan sekarang. Bagaimanapun Isabella adalah penerus Duke of Avondale. Akan tetapi, melihat Isabella sekarang membuat Sabrina puas serta menikmati pemandangan menyedihkan di depannya. Kejahatan Isabella memang tidak bisa dianggap sepele. Sejak awal disanalah tempat Isabella berada.
Melihat kedatangan Sabrina. Posisi Isabella yang semula memeluk kedua lututnya yang tertekuk seketika berdiri. Menatap marah dan penuh kebencian pada Sabrina.
"SEHARUSNYA SEJAK DULU AKU MEMBUNUHMU JALANG SIALAN!" teriak Isabella sembari berusaha menggapai-gapai tubuh Sabrina dari balik sel. Hilang sudah keanggunan dan sikap seorang lady terhormat pada diri Isabella.
Sabrina tak berniat mengubris. Membiarkan Isabella meluapkan segala amarahnya. Toh, setelah ini Sabrina sendiri yang akan menumpahkan segalanya kepada Isabella.
Sabrina mengangguk pada dua orang penjaga kastil. Meminta waktu sebentar untuk meninggalkan Sabrina berdua dengan Isabella. Tentunya tanpa repot-repot membuka kamar sel Isabella.
"KEMARI KAU!!!"
"HAMA SEPERTIMU SUDAH SEPATUTNYA KUBINASAKAN!!!"
"AKU MEMBENCIMU BRENGSEK! KENAPA KAU TIDAK MATI SAJA MENYUSUL IBUMU KE NERAKA HUH?!!"
Sabrina menatap datar Isabella. "aku kira kau sudah menyesali semua perbuatanmu Isabella" kata Sabrina yang semakin memberi minyak pada amarah Isabella.
"K-KAU?!!" Isabelle memukul kencang jeruji besi di depannya. Matanya melotot tajam ke arah Sabrina.
Sabrina sama sekali tidak takut dan terpengaruh. Menurutnya pembalasan seperti ini belum berarti apa-apa bagi Isabella. Hanya penderitaan wanita itulah yang bisa menebus seluruh dosa-dosanya.
"kau seperti melempar kotoran ke wajah ayah dan ibu. Akibat semua perlakuanmu ayah dan ibulah yang menerima konsekuensinya" Sabrina berusaha mempermainkan psikologi Isabella. Selain perasaan takut dan sedih. Rasa bersalah adalah faktor lain seseorang menjadi mudah depresi. Melihat kondisi Isabella sekarang bukan perkara sulit mempermainkan mental wanita itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
What the Lady Wants
أدب تاريخيTerbangun ditubuh seorang putri bungsu Duke Melville entah Sabrina harus merasa beruntung atau sial