Bab 42

9K 1K 96
                                        

Penting !
© Cerita ini hanya fiksi belaka. Kesamaan nama, tempat dan waktu tidak melatari cerita sejarah apapun.

Ps: maaf baru bisa update cerita sekarang😬😬😬

Sabrina terbangun lantaran mendengar suara gaduh di sekitarnya. Membuka mata perlahan sembari memegangi sisi kepalanya yang sedikit pening. Memastikan apa sebenarnya yang terjadi pada dirinya.

Hal terakhir yang Sabrina rasakan sebelum kesadarannya mulai menghilang adalah perih pada bahu kiri yang mana terdapat bekas luka akibat tusukan anak panah waktu itu.

Sabrina menatap bingung langit-langit di atasnya. Terdapat chandelier megah yang menggantung indah. Sabrina merasa asing sekaligus terpukau dengan interior langit-langit tempatnya berbaring saat ini. Bisa dikatakan ia belum pernah melihat pemandangan kamar semenakjubkan sekarang. Ornamen dan ukiran gothic tak luput dari penglihatan Sabrina. Menambah kesan antik serta mewah pada kamar tersebut.

Suasanya ruangan tempat Sabrina berada cukup temaram. Suhunya tidak panas dan juga tidak dingin. Cenderung hangat menenangkan. Sepertinya perapian di kamar tersebut diatur dengan sedemikian rupa. Walaupun saat ini telah memasuki musim panas, tetap saja udara dingin pada malam hari tak dapat dihalau dengan mudah.

Suara langkah kaki yang berat terdengar jelas mendekati Sabrina. Sabrina berusaha memfokuskan diri mengenali suara langkah kaki tersebut.

"menginaplah malam ini. Jangan paksakan untuk pulang dalam kondisi seperti itu" Sabrina mengenal suara tersebut. Dengan pelan Sabrina memposisikan tubuhnya untuk bangkit terduduk.

Sabrina balas menatap tajam manik mata biru laut yang berdiri tak jauh darinya dengan kedua tangan menyilang angkuh di depan dada. Seperti biasa, pria yang bertatapan dengan Sabrina hanya menampilkan raut wajah dingin tak terbaca. Akan tetapi, dari gerak matanya Sabrina tau betul, pria itu sedang memperhatikan keseluruhan tubuhnya, seolah menelanjanginya hanya dengan sebuah tatapan.

Orang yang baru saja berbicara dengan Sabrina tentu saja Putra Mahkota Halard. Sabrina hapal perawakan tubuh pria itu walaupun kini wajah pria itu dipenuhi lebam dan juga sisa-sisa darah.

Halard semakin mendekat, memperkecil jarak antara dirinya dan Sabrina.

Halard menempatkan dirinya di sisi ranjang dekat Sabrina dengan posisi menyamping. Mata elangnya tak lepas memperhatikan setiap inci wajah Sabrina. Tangannya bergerak, terulur menyentuh lembut rambut Sabrina. Mempermainkan sejenak sebelum menyelipkannya ke belakang telinga helaian rambut yang menutupi wajah cantik Sabrina.

Entah mengapa tubuh Sabrina berubah layaknya patung. Seakan-akan ada yang memahatnya agar tetap diam. Efek sentuhan Halard selalu seperti ini pada tubuh Sabrina. Dominansi pria itu sedikit banyak sebagai penyebabnya.

"maafkan aku" satu kalimat yang tak Sabrina sangka-sangka keluar begitu saja dari bibir Halard.

Sabrina tercengang. Seumur hidup ia tak pernah membayangkan seorang calon penerus raja meminta maaf. Kata maaf sering kali menjadi hal tabu untuk orang-orang penghuni istana.

Halard terlihat frustasi. Tangannya yang semula berada di sisi wajah Sabrina berpindah mengusap kasar rambut keemasannya sendiri. Halard sungguh sangat kacau malam ini. Belum pernah Sabrina mendapati penampilan Halard seperti sekarang. Wajah lebam pria itu sedikit banyak mengusik keingintahuan Sabrina.

"apakah sakit?" tanya Sabrina mengabaikan kalimat Halard sebelumnya. Kepalanya sedikit dimiringkan kesamping.

Halard menengadah. Tangannya spontan berhenti mengusap kasar rambutnya.

Sabrina tak sadar jika saat itu tangannya menangkup wajah Halard, mengarahkan wajah Halard menatapnya sembari membelai pelan luka lebam di wajah tampan Halard.

What the Lady WantsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang