9. 🥞

22.1K 3.4K 230
                                    

Thanks jawaban dari cek ombaknya yaa.
happy reading.

******

"kamu manis kalau rambutnya pendek gitu."

Aduuuuh kenapa jadi terngiang-ngiang dengan gombalan recehnya siiih. Please Kayla, jangan terpesona jangaaaan. Meski, lambe lemesnya itu sukses membuatku beberapa kali mematut diri di depan kaca, memutar ke kanan ke kiri, melihat apa bener aku emang pantes berambut pendek.

Aaargft. Aku mengacak-acak rambutku sendiri, menepuk-nepuk lembut pipiku. Merapal berbagai macam do'a, bahkan sampai do'a sebelum makan. apapun, yang penting, bayangan dan omongan Bara hilang dari otak bawah sadarku.

Tolonglah, pergi, please, masa iya aku harus mandi kembang tujuh rupa dengan tujuh mata air yang berbeda supaya lepas dari bayangan Bara?????

Beberapa staf yang melihatku menatap heran.

"Ngantuk Mbak?" tanya Ria heran, "dari tadi jambak-jambak rambut dan tepok-tepok pipi." aku hanya mengangguk. Emang terasa ngantuk juga sih. Hawa orang lagi puasa, siang-siang emang ngantuk, apalagi semilir AC terasa menina bobokan.

Aku menguap, tepat Bara lewat di koridor dengan Pak Tatang dan Pak Galih, senior-senior di Bank ini. Sepertinya habis meeting management. Wajahnya terlihat serius. Dia sempat melirik mejaku sebentar. Rasanya jantungku nyaris copot.

Aku berdehem sendiri, dan melihat kanan kiriku. Astaga, cewek-cewek jomblo matanya sama kayak mataku, jelalatan, mengikuti sampai kemana punggung Bara berlalu. Emang yaa, gak bisa lihat yang bening-bening lolos.

"Kalau Pak Bara lewat rasanya langsung adem banget yaaa." Ria memeluk bukunya sendiri. "Berasa liat Alden Richard lagi minum sirup marjan, segeeer."

"Ho oh, mata jadi segar, auto melek," sahut yang lain.

"Bayangin serumah sama Pak Bara gimana rasanya ya?"

"Gak enak."

Beberapa orang staf yang mendengar omonganku langsung menatap dengan dahi mengernyit. Matiih, keceplosan. Sonia di kubikel sebelah terdengar menahan tawa. Ah kampreto Barakuda. Kenapa bisa kelolosan omong gara-gara dia sih??

"Kok tahu Kay? Kayak serumah aja." ledek Pras, diiringi tawa cekikikan lainnya. Oh syukurlah kirain mereka curiga. Rasanya aku bisa bernapas lega.

"Ya nebak aja," jawabku asal. Merapikan berkas, karena adzan dzuhur berkumandang. Waktunya istirahat, ngeleset alias rebahan sebentar di mushola kantor kan enak.

"Aku cari info kenapa Pak Bara bisa cerai, eh cabang Semarang kayak nutupi gitu." Ria kembali berkomentar. Syukurlah. Gak bayangin kalau sampai cabang Malang tahu, apalagi didengar Bu Retno, bisa-bisa ceritanya jadi macam sinet tersanjung yang akan jadi berjilid-jilid.

"Lagian, kenapa kamu kepo Ri?" tanya Sonia, "Itu kan masalah pribadi Pak Bara, kita mah cukup kerja yang baik aja, laporan dan gajian tepat waktu terus hura-hura."

"Ya penasaran doang Mbak, kan Pak Bara secara fisik sempurna, secara karir mapan, kenapa bisa sampai cerai?"

"Makanya nikah, biar tahu rasanya berumah tangga bagaimana. "Pak Sanusi, salah satu staf senior ikut nimbrung, "Daripada ngobrolin Pak Bara, sudah bubar, istirahat sana."

Aish. Pak Sanusi mendapat tatapan sewot ciwi-ciwi. Bukannya bubar ke mushola, mereka malah lanjut rumpi.

"Eh tapi, aku kayak pernah liat Mbak Kay sama Pak Bara lho seminggu lalu."  tiba-tiba Lia ikutan nimbrung, manten anyar itu baru masuk dari ruang depan, dan menatapku curiga begitu mendengar topik rasan-rasan a.k.a perghibahan kali ini adalah Bara, "Apa mirip? nggak tahu juga sih, soalnya malam."

serendipity (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang