17. 🥨

20.8K 2.8K 105
                                    

"Kuwalat Mama, sama Ayah Ibu deh Mas, kita." aku tertawa, lupa kalau kapan hari chek out belanja online dan di alamatkan rumah mawar.

Bara menoyor lembut kepalaku, "Kita? Kamu aja kali Kay, aku sih nggak." 

"Kan kamu yang nggak mau sekamar Mas." kami masuk kembali kedalam rumah, dengan paket terbungkus kresek hitam di tanganku.

"Yaiya, mana ada macan kuat sekamar sama kancil." 

"Aku kancilnya?"tanyaku

"Nggak, kamu macannya." 

"Mana ada? Kamu yang napsuan Mas." 

Bara hanya tertawa, mengambil kunci motor. 

"Ayo sudah, aku laper." dia mengusap-usap perutnya yang trepes itu. Aku mengangguk, bergegas ke kamar, mengganti piyamaku dengan celana jeans dan kaos yang kupadukan dengan kardigan. Tanganku membawa slingbag berisi dompet dan ponsel. 

"Ayo." aku mengajaknya berlalu, tapi tangan Bara menahanku. 

"Ada syal? Lehermu merah, bisa mikir aneh kalau ada  yang lihat." 

Merah? Dahiku mengernyit, kembali ke belakang, menuju wastafel kamar mandi luar, memperhatikan leherku melalui cermin. 

"Ini kenapa bisa merah????" tanyaku kaget, "Ini hasil gigitanmu tadi?" aku menoleh, dan sipelaku yang tengah berdiri di depan kamar mandi hanya mengangguk saja, menahan tawanya. Ah asem Bara. 

"Namanya kissmark kalau kamu belum paham," jelasnya kalem. Astaga, aku juga nggak polos-polos amatlah, sebagai penulis genre romance tentu asupanku harus banyak. Namun, baru pertama kali ini aku tahu proses pembuatannya seperti apa. Astaga!!! Emang apaan Kay, kamu bilang proses pembuatan. Kamu kira jajan???

"Tadi kurirnya lihat gak ya?" tanyaku cemas. Campur malu.

"Nggak, kan dia bentar doang, gak sempet lihat, cuma ya kalau diperhatikan seksama, kelihatan Kay, tutupin pakai syal ya." 

"Kamu yang berbuat, aku yang ribet Mas." Aku kembali ke kamar, dan dia hanya tertawa saja. Namun, belum sampai kakiku masuk kamar, bel rumah berdenting lagi. 

"Paketmu lagi?" tanyanya. 

"Nggak ada." kami bergegas mengintip lewat ruang tamu. Haaa?? Nggak sia-sia kami pontang-panting. Mamaku datang bersama Mas Kriss dan keluarganya. 

"Mamaaaaa." Buru-buru aku membuka pintu, wajah Bara antara kaget campur senang, dan khawatir, saat itulah aku sadar, tanda merah yang tadi kulihat sangat jelas, belum kututupi apa-apa. Bara kampretooooo.

Mbak Maya yang menyadari, langsung menahan tawanya, buru-buru dia menggeser posisinya ke sebelah kiriku, sepertinya dia akan melindungi adik iparnya ini yang sudah malu, daripada nanti Mas Kriss dan Mama lihat. Tambah malu kuadrat rasanya.

"Da-ri rumah Ma?" tanyaku terbata, menutupi kegugupanku gara-gara si tanda merah, duh masa iya kututup plester? Kalau kututup syal, mengundang perhatian banget, masa iya di rumah pakai syal? 

"Iya, mau ke MOG, mampir sini dulu." 

"Om Baraaaa." Hisyam tampak senang ketemu Bara, sementara Lesha masih malu-malu dibalik kaki Papanya. 

"Masuk-masuk." aku membantu Mama membawa masakan yang sepertinya sengaja disiapkan dan dibawa ke sini. 

"Kebetulan aku dan Bara belum sarapan." dari baunya kayaknya kare ayam, "Mama ngerti banget sama anaknya." 

"Preet." Mas Kris meledek, "Pengantin baru, jam segini baru cari sarapan." 

Haduh mukaku rasanya malu sekali. Mbak Maya memukul lembut lengan suaminya. Buru-buru aku ke dapur, memindah kare ayam dari rantang stainless besar yang tadi dibawa Mbak Maya dan Mama, ke dalam mangkok kaca yang besar. 

serendipity (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang