Lima

1.5K 263 64
                                    

"Pilu adalah kala kerinduan berlabuh pada ia yang masih tampak namun tak lagi mampu direngkuh."

●●●●

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

●●●●

Beberapa hari berlalu dalam keheningan yang terlalu gigil. Usai perdebatan terakhirnya bersama Jihan malam lalu, ibu dari anak-anaknya itu benar-benar tidak pernah lagi menampakkan diri.

Sebelumnya dalam kesepakatan mereka, pada hari kerjanya Jevian akan membiarkan anak-anak menemui Jihan sebanyak dua kali dalam seminggu. Lelaki itu lebih senang meminta tolong kepada Bi Eni untuk mengantarkan anak-anak pada Jihan sekaligus mengawasi mereka selama bersama bundanya. Dengan demikian, secara otomatis tidak akan ada komunikasi antara dirinya dan Jihan.

Dulu Jevian pikir itu adalah jalan terbaik untuknya, sebelum kini ia mulai merasa gelisah karena Jihan yang tidak kunjung ada kabar—untuk menanyai keberadaan anak-anak.

"Nggak nganterin anak-anak, Bi?" tanya Jevian di suatu sore saat memiliki waktu untuk pulang lebih awal.

"Ndak, Pak."

Bi Eni menjawab dengan sopan. Ia bergerak hampir meraih tas kerja Jevian namun lelaki itu menolaknya dengan halus.

"Saya bisa sendiri, Bi." tutur Jevian tak kalah sopan.

Lelaki itu kemudian tersenyum tipis untuk meyakinkan. Baginya, keberadaan Bi Eni di rumah adalah untuk membantunya merawat dan menjaga anak-anak. Bukan untuk melayani Jevian sebagai asisten rumah tangga. Meski sering kali Bi Eni bersikap seolah-olah ia juga memiliki tanggung jawab untuk melayani kebutuhan Jevian, tapi lelaki itu selalu menolak dan berusaha memberi batasan padanya karena Jevian tidak ingin dilayani oleh siapapun. Ia ingin menghormati wanita paruh baya itu sebagai sosok yang membantunya menjaga anak-anak.

"Memang bundanya anak-anak belum ada kabar, Bi?" tanya lelaki itu akhirnya setelah tidak mampu menahan rasa penasaran.

"Belum, Pak."

Bi Eni mengikuti langkah Jevian menuju dapur rumah, lalu buru-buru melajukan langkahnya guna mendahului lelaki itu dan meraih gelas untuk diisi air dingin. Jevian menghela napasnya mengalah menatapi punggung Bi Eni dari arah belakang, lelaki itu memilih untuk memutar jalan menuju meja makan dan duduk di sana.

"Padahal, Pak. Anak-anak sudah nanyain bundanya sejak kemarin." Bi Eni mengadu saat masih menuangkan air ke dalam gelas. "Saya sampai bingung harus jawab apa." keluhnya setelah meletakkan gelas di hadapan Jevian.

"Terima kasih banyak, Bi." Jevian yang merasa tidak enak akhirnya mengulas senyum meminta pengertian sembari menerima gelas dari Bi Eni. "Untuk sementara waktu tolong lebih sabar menghadapi anak-anak ya, Bi." pintanya tulus.

Bi Eni mengangguk tegas. Bukannya ia tidak mampu melihat gurat lelah dari balik tatapan majikannya itu. Bertahun-tahun melayani keluarga Abinawa, wanita paruh baya itu tau betul betapa seorang Jevian sangat amat mencintai istri dan anak-anaknya. Mereka hidup baik-baik saja sebelum akhirnya badai itu datang dan perubahan yang terlalu mendadak ini tentu saja membawa terlalu banyak efek samping bagi pria itu.

Desiderari | Jung JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang