"Never cut what can be untied."
●●●●
Dua minggu setelah anak-anak berkenalan dengan Ajis, seperti yang sudah Jihan duga, Devan tampak tidak bisa akur dengannya.
Tidak mengejutkan sebenarnya, sebab sikap Devan dan Ajis menurut Jihan sangatlah mirip. Sama-sama tidak suka bicara, tapi jika sudah mengenal lebih dekat akan jadi jauh lebih cerewet. Sama-sama irit bicara namun sekalinya berkelakar akan membuat orang lain tertawa atau justru bungkam. Sama-sama jail dan sering mengerjai satu sama lain.
Sampai di titik ini, rasanya Jihan jadi benar-benar bingung apakah Devan yang terlalu kurang ajar atau Ajis yang bersikap tidak sesuai dengan usianya ya? Yang jelas, keadaan toko menjadi jauh lebih riuh saat memasuki waktu makan siang dan anak-anak datang diantarkan Bi Eni.
"Ajis ayo makan siang dulu!"
Jihan sudah duduk di hadapan anak-anak yang lahap menyantap bekal makan siangnya. Meja empat kursi itu akhir-akhir ini ketambahan satu spot baru sebab akan ada kursi baru dan kotak bento khusus untuk Ajis yang disediakan oleh Jihan. Tapi siang ini, pemuda itu tampak uring-uringan mengacak isi tas. Abai pada bekal miliknya.
Ajis masih berkutat pada tas ranselnya hingga Jihan dapat menangkap gurat cemas dalam kerutan keningnya dan juga gerakannya yang mulai terlihat panik.
"Jis—"
"Mbak, kayanya aku harus izin siang ini." Ajis memotong Jihan sembari memasukkan kembali barang yang sebelumnya ia keluarkan dari ransel dengan gerakan semaunya.
"Dipanggil dosen, ya?"
Ajis menggeleng.
"Lembar pengesahanku hilang, Mbak. Kemarin habis ambil data, biar valid harusnya ada surat pengesahan yang ada cap dari pihak kantor. Tapi aku lupa antara salah taruh atau memang belum sempat aku ambil ya.." jelas Ajis buru-buru. "Aku harus ke sana buat mastiin, Mbak."
Jihan mengangguk setuju. Melihat Ajis yang sudah membuka apron dan meraih kemeja flanel—dari gantungan—yang memang selalu ia gunakan sebagai outer kaos polosannya, Jihan akhirnya ikut bangkit guna memasukkan bekal milik Ajis ke dalam tas khusus bento. Dan gerakan dua manusia itu tentu saja menarik perhatian tiga orang lainnya yang tengah duduk menikmati makan siang mereka di sudut meja.
"Ajis mau ke mana?"
Ajis yang kala itu tengah mengancingkan kemejanya berhenti bergerak. Matanya segera mencari sosok Devan yang kini tampak berhenti makan dan menatap Ajis penasaran. Sepanjang saling mengenal selama dua minggu, sepertinya ini kali pertama Devan berbicara pada Ajis dengan nada yang baik. Sebelumnya bocah itu lebih suka nyolot dan ngotot pada Ajis apapun kondisinya. Ia senang mencari ribut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desiderari | Jung Jaehyun
RomanceCinta ini berduri. Tapi sejenak aku lupa, aku tak menggenggamnya sendirian.