"You cant love me and i cant keep on waiting for you to realize that there's no one who love you like i do."
●●●●
'Maafin Ayah ya, Sayang. Kamu baik-baik aja, kan?'
Jihan menatap nanar pesan singkat dari ibunya. Gerimis lagi-lagi membasahi muka bumi dan menciptakan gigil tipis juga embun di permukaan kaca. Jihan meletakkan ponselnya di atas meja dan menatap lurus-lurus ujung bumi yang tidak lagi mampu digapai oleh pandangannya. Sejak terakhir kali semua orang menatapnya dengan pandangan mencela dan memberikan punggung mereka pada Jihan, ibuk adalah satu dari sedikit yang masih menanyakan kabarnya.
Meski wanita paruh baya itu.. masih tidak mendapatkan izin dari ayah untuk menemui Jihan.
Ayah.
Seketika nama itu melintasi benak Jihan, sesosok lelaki paruh baya yang menatapnya dengan mata memerah garang segera muncul dalam kilasan memori. Jihan belum lupa—mungkin ia tak akan pernah lupa—bagaimana ayah mengusirnya dari rumah ketika Jihan pikir pondok sederhana beratapkan genteng itu menjadi satu-satunya tempat di mana ia akan diterima tanpa tapi.
"Berani-beraninya kamu pulang setelah mempermalukan nama baik keluarga?!"
Tapi begitulah salam pembuka dari ayah ketika ia menemukan putrinya berdiri di depan pintu rumah dengan membawa sebuah koper besar usai sidang cerainya mendapatkan putusan pengadilan semalam lalu. Lelaki itu tidak repot menyapa. Bahkan raut wajahnya yang semula ramah berubah menjadi begitu dingin ketika mengetahui siapa sosok tamu yang datang tanpa diundang siang itu.
"Kurang apa Jevian sampai kamu tega selingkuh hah?!"
Pekikan ayah terdengar nyaring. Seolah beliau tidak peduli jika sikapnya sama saja dengan mempermalukan Jihan di hadapan para tetangga. Matanya tampak nanar dan sarat akan kekecewaan yang meluap-luap tanpa repot-repot lelaki paruh baya itu tutup-tutupi.
"Ayah—"
PLAK!
"Cuma dia laki-laki yang mau berusaha keras membahagiakan kamu, mengangkat derajat kamu dan memperlakukan kamu dengan baik! Tidak seharusnya perempuan bertingkah tidak tau diri dengan berselingkuh bersama mantan kekasihnya setelah diperlakukan dengan begitu layak. Kamu sangat amat memalukan!"
Panas itu menjalar-jalar di permukaan pipi Jihan. Belum lepas luka menganga yang Jevian tinggalkan padanya, kini bahkan ayahnya sendiri dengan ringan tangan ikut menorehkan luka baru—yang tak tanggung-tanggung dalam bentuk fisik dan batin.
Jihan memegangi pipinya yang terasa panas. Seumur hidupnya, meski sekeras apa pun ayah dalam mendidik dan mengatur banyak hal, lelaki itu tidak pernah menyakiti Jihan secara fisik. Beliau memang keras kepala, namun bagi Jihan ayah bukanlah sosok yang ringan tangan. Kini melihat bagaimana marahnya lelaki itu dan ringannya tangan beliau menyapa pipi Jihan membuat perih yang semula ia rasakan kini terasa dua kali lipat lebih menyakitkan. Mata Jihan mulai diselimuti selaput yang membuat pandangannya buram. Lalu kala ia masih terdiam di hadapan ayah tanpa mampu bersuara, setapak langkah gaduh tiba-tiba menggema dari dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Desiderari | Jung Jaehyun
RomanceCinta ini berduri. Tapi sejenak aku lupa, aku tak menggenggamnya sendirian.