Bab 8 - Cibiran Suami Zalim

7.7K 838 167
                                    

Tumben sepi komen. Hix... Shirei Kecepian [plak]

 Shirei Kecepian [plak]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

RAYA

Aku terdiam mendengarkan cerita Pak Bram yang sama sekali tak kuingat. Empat tahun lalu? Berarti sekitar setahun sesudah aku diterima kerja? Waduh, apakah sopan jika aku berkata tidak ingat? Apalagi aku kurang ajar sekali bicara dengan bos besar seperti itu. Sampai sebelum dia cerita tadi, aku masih mengira Pak Bram hanya sebatas CEO yang kemudian naik menjadi Direktur Utama. Ternyata bukan! Dia pemilik perusahaan! Dan bukan cuma satu perusahaan!

"Bu Raya sangat perhatian pada masalah orang lain. Ibu juga peka membaca sifat orang. Berkat bantuan Ibu, Qadarullah presentasi saya lancar. Jajaran direksi akhirnya mau menerima saya sebagai pimpinan mereka dan menyingkirkan gagasan kalau saya lolos karena nepotisme." Pak Bram tersenyum dengan begitu lembut.

Aku mengamati wajah itu. Usia 36 tahun sama sekali tak terlihat di wajahnya. Kupikir masih awal 30-an. Kupikir kami sepantar. Ternyata Pak Bram lebih tua enam tahun. Hidungnya mancung, kulitnya putih, iris matanya hitam legam dan tajam. Dagu jirus dan rahang tegas membawa wibawa tersendiri. Apalagi kacamata dengan bingkai gelap menghiasi wajah yang terlihat semakin tampan.

Aduh, dulu aku kenapa, sih? Memang aku suka ceplas-ceplos. Selalu mengatakan yang kuinginkan termasuk tentang perceraian yang meski berat, tapi bisa langsung kukatakan. Namun, menghampiri orang tak dikenal dan memberikan saran, aku dulu ngapain, sih?

Namun, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ibu selalu berpesan agar aku selalu awas pada sekitar. Melihat apakah ada yang membutuhkan bantuan. Kadang, perbuatan sesederhana membantu menyebrangkan jalan orang yang kebingungan, bisa berarti sangat besar bagi penerimanya. Mungkin aku memang melakukannya tanpa sadar.

Dan jeleknya, aku sudah lupa pada setiap orang yang kubantu. Ibu bilang, tidak elok untuk mengingat bantuan apa yang sudah kita berikan pada orang lain. Sebaliknya, mengingat bantuan yang kita terima adalah keharusan.

"Maafkan saya, Pak. Sungguh saya tidak ingat soal perjumpaan pertama kita. Dan saya minta maaf kalau ternyata saya dulu tidak sopan sekali." Aku menutup wajah karena malu.

Kudengar suara kekehan kecil dan lama-lama mengeras. Wajah Pak Bram terlihat lebih lembut jika tertawa seperti itu. Mengingatkanku pada Mas Adnan saat awal-awal kami menikah.

Astagfirullah! Aku beristighfar. Lupakan dia Raya! batinku berontak. Namun, meski aku begitu tersakiti, bagaimanapun juga, kenangan masa lalu tak semudah itu tersingkir, bukan? Apalagi jika ada ketakutan yang masih mencengkeram di dada.

Aku hanya ingin hidup tenang. Meski aku akan bingung bagaimana merawat bayiku tanpa siapa pun saat bekerja, aku akan tegar. Semua bisa dipikirkan nanti. Perlahan-lahan.

"Ibu tidak perlu cemas. Sekali lagi saya katakan kalau saya justru sangat bersyukur telah bertemu Bu Raya sebelum presentasi dengan para direksi."

Aku menghembuskan napas lega. "Terima kasih banyak, Pak. Sungguh, semoga Allah membalas semua kebaikan Bapak."

END Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang