Bab 29 - Awal yang Baru

3.5K 436 170
                                    

Eiii... bab kemarin dpt 88 vote!!!

Bisa yuk bisa... 88 vote, yaaaa biiar besok update!

TERIMA KASIIIH!!!

Tanpa terasa, hari yang dinanti telah tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanpa terasa, hari yang dinanti telah tiba. Pukul lima, aku sudah berias seusai menyusui. Daffa tidur dengan pulas di sisiku. Ruang tunggu yang kugunakan adalah kamar tamu.

Aku tak bisa membayangkan besarnya kamar utama jika kamar tamunya saja sudah sebesar kamar utamaku saat menikah dengan Mas Adnan. Satu kasur raksasa dengan lemari kaca yang tak kalah besar. Tak lupa meja rias tempatku duduk sekarang, juga kasur bayi goyang yang membuat Daffa begitu nyaman terlelap.

Nuansa biru teduh membantu menenangkan hatiku yang tengah berdebar tak karuan.

Sebenarnya, Mas Bram kalau aku berkata tidak perlu berias. Tidak perlu memamerkan diriku di depan banyak orang. Bukankah kecantikan seorang wanita hanya ditampakkan untuk suami sahnya?

Namun, berapa kali pun aku berusaha menerima kalimat itu, aku tidak sanggup. Mungkin memang aku masih belum sepenuhnya hijrah hingga merasa tidak pantas jika aku dilihat tanpa riasan di hari istimewa. Nanti, Mas Bram malu lah, nanti keluarga Bimantara dilecehkan lah, dan pikiran-pikiran buruk lainnya.

Pada akhirnya, aku harus menurut pada calon suami hingga akhirnya memutuskan berias secukupnya asal tidak terlihat kusam. Mungkin memang aku saja yang masih ingin tampil. Mungkin itu juga aku sempat berjodoh dengan Mas Adnan yang gemar memamerkan diri. Dulu, kami satu kufu.

Dengan Mas Bram aku belajar banyak hal. Bahwa semua hal tak perlu harus dipamerkan. Buktinya aku sama sekali tidak sadar kalau dulu berbicara dengan pemilik perusahaan.

Namun, aku yakin Mas Bram akan protes jika aku berkata demikian. Dia selalu menegaskan kalau wanita baik-baik pun bisa menikah dengan pria berengsek karena itu bentuk ujian yang Allah berikan pada orang yang Allah kehendaki.

Entahlah. Terkadang aku masih mengenang masa laluku. Tampaknya rasa trauma itu masih merengkuhku erat. Menyisakan hantu-hantu masa silam yang kerap menghadirkan sesal. Semoga aku bisa terus melangkah tanpa terpengaruh bayang-bayang kelam.

Kuremas gaunku yang berbahan halus untuk mengusir gundah. Gaun yang dirancangkan memang sangat nyaman dan tidak menggangguku yang sering tiba-tiba menyusui. Bahannya pun sangat ringan dan tidak tembus pandang.

Jilbab yang kukenakan tidak banyak riasan. Hanya jilbab segiempat panjang dengan tumpukan bunga satin mungil di sebelah kanan.

Selanjutnya, aku hanya berdoa agar acara diberi kelancaran. Tidak banyak yang datang. Aku sendiri belum keluar sejak semalam dan hanya ditemani Mbak Titi yang tidur di kasur yang sama.

Tentu Mbak Titi sempat protes, tapi aku memaksa. Mas Bram pun mengizinkan karena kasurnya memang luar biasa besar.

Semua hal dilakukan di dalam kamar. Aku seperti dipingit agar menjaga khalawat dengan Mas Bram yang belum mahram, tapi terpaksa sudah serumah sejak kemarin sore.

END Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang