Bab 4 - Shibuya Corner Cafe

10.1K 939 185
                                    

DAPAT 65 Vote [Total jadi 600 vote], UPDATE LAGI Sabtu.

Kalau enggak, ya Senin!

Tolong perbanyak Istighfar kalau ada karakter yang nyebelin, ya! 

Sayang kalau ketikannya kasar. Hehehe

Aku mengucap salam ketika suara bariton di seberang sambungan membalas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengucap salam ketika suara bariton di seberang sambungan membalas.

"Bu Raya ada di mana sekarang?" Suara Pak Bram terdengar khawatir.

"Saya mau ke kantor Bapak. Barangkali ada lowongan." Aku berusaha bicara setenang mungkin. Semoga aku masih bisa bekerja dengan baik meski sudah hampir setahun aku tidak berhadapan dengan angka-angka dan tabel laporan.

"Apa kita bisa bertemu di Shibuya Corner Cafe?"

"Kafe yang di ujung jalan itu?" Aku tak yakin mengapa Pak Bram justru mengajakku bertemu di kafe dan bukan di kantor.

"Iya. Atau Bu Raya sedang sibuk?"

Aku tidak membenarkan hal itu. "Saya bisa ke sana, Pak. Saya juga sudah bawa surat lamaran. Atau ada lagi yang perlu saya bawa?"

"Tidak ada. Sampai jumpa di sana dalam tiga puluh menit."

Maka sambungan telepon pun diputus. Aku pun bergegas menuju kafe yang dimaksud. Kafe yang cukup sepi di jam kerja ini memang sudah jadi langganan teman-teman kantorku dulu. Suasananya seperti kafe di Jepang dengan banyak gambar-gambar anime dan action figure-nya. Kabarnya, ini cabang ketiga yang ada di Jakarta.

Aku memesan fries dan lemon tea sebelum masuk ke kamar mandi untuk sedikit merapikan diri. Kutatap bayanganku di cermin. Begitu kusut dan kelelahan. Kulit pucat, bibir sedikit kering, dan kantong mata menghitam dan membengkak. Mungkin karena terlalu banyak menangis sejak kematian putriku. Mengingat itu saja, air mataku langsung menggenang. Aku menarik napas berusaha menyingkirkan duka yang kembali menghantam.

Kugunakan micellar water sebentar, membilasnya dengan air, lalu mulai mengenakan cushion dan lipstik. Lumayanlah. Aku tak terlihat seperti mayat hidup.

Kuselipkan rambut yang tergerai ke belakang telinga. Aku menarik napas. Dulu, aku ingin berjilbab setelah menikah. Namun, Mas Adnan melarang. Rambutku adalah kebanggaannya. Sekarang, aku jadi ragu. Apa benar kita harus menurut pada suami untuk perintah apa pun?

Aku pun duduk ke salah satu meja di sudut kafe yang masih kosong. Kusesap lemon tea-ku. Ah, rasa asamnya menenangkan. Kucomot sepotong kentang dan mulai mengunyah dengan cocolan saus tomat.

Sembari menunggu Pak Bram datang, aku mulai browsing tentang apakah boleh menolak perintah suami yang melanggar aturan Tuhan.

Ternyata, memang tidak boleh mematuhi perintah suami yang melanggar syariat. Ya Allah, tampaknya aku harus lebih banyak belajar agama. Aku menghela napas.

END Putra yang Tak Kupunya x Ketabahan Seorang JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang