|Chapter 8|

1 3 0
                                    

Chapter 8: Pantai.

"Apa ini pah?" Seru Aurora tidak sabaran.

"Ini kalung, masa Arra engga tahu?" Papahnya hanya terkekeh.

Aurora hanya cemberut. Aurora tahu itu kalung, tapi kalung apa ini? Modelnya unik sekali.

"Ini kalung pusaka keluarga kita, Arra." Papah mulai berbisik antusias.

"Papah jarang memakainya, jadi... Arra mau?" Bisik papah.

Aurora hanya mengangguk senang. Lantas papahnya memakaikannya di leher Aurora.

"Sembunyiin."

"Eh kenapa pah? Kan kalung tujuannya buat dilihat orang?" Tanya Aurora.

"Ini pusaka keluarga kita, sayang. Jangan biarin orang sampai tertarik buat ambil ini." Seru Papah pelan.

Aurora tidak bertanya lagi. Hanya menganggukan apa yang dikata papahnya.

Papahnya pun berbicara sebentar dengan Aurora, lantas pergi lagi. Entah kemana. Sebelum pergi, papahnya mengecup dahi putrinya itu. Lantas mengucapkan sesuatu.

"Arra, kalo ada apa-apa bilang ya? Atau lagi mau sesuatu. Bilang ke kak Laddy atau papah. Ke temenmu itu juga engga apa."

"Iya pah." Aurora mengangguki.

"Benar ya? Jangan disembunyiin sendiri masalahnya." Papah Aurora memastikan.

Aurora hanya mengangguki. Lantas melambai kepada papahnya.

Aurora pun yang hendak ke ranjangnya, melirik ke meja di ruang tamu. Lupa jika tadi Aurora merebus mie. Kesibukan berbincang bersama papahnya. Lantas Aurora tertawa sejenak dan memakannya. Setelah selesai, Aurora pun pergi ke ranjangnya.

***

Angin berhilir menerpa wajah.
Alunan rambut seketika menari-nari.
Kaki-kaki mulai tenggelam di ombak pasir dan air.
Kicauan burung terdengar diantara arus-arus ombak.

Yups, pagi ini Aurora dan Alfin sedang di pantai. Matahari belum terbit sepenuhnya, mereka sengaja datang lebih pagi agar tidak terlalu ramai pengunjung lainnya. Karena pantai ini amat indah pesonanya sehingga seringkali ramai turis dan wisatawan.

Aurora sedang berdiri di tepi pantai. Membiarkan ombak kecil menerpa kaki-kakinya. Juga rambut panjangnya yang tertiup angin menari-nari. Aurora terlalu menghayati suasana pantai pagi ini.

Berbeda dengan Alfin, Alfin rebahan santai di kursi pantai. Sambil memakai kacamata hitam yang padahal matahari saja belum bersinar terang. Dan tentu saja novel kesayangannya di sebelahnya. Alfin juga menikmati suasana pantai dengan versi santai malas.

"Raa." Teriak Alfin yang berusaha mengalahkan suara ombak pantai.

Aurora menoleh kearah suara. Ini masih pagi, jadi ombak pantai tidak besar. Hanya saja kicauan burung camar yang meramaikan.

"Apaa." Balas teriak Aurora.

"Jangan kebanyakan ngelamun nanti didatengin setan loh." Teriak Alfin santai.

"Mana ada setan pagi-pagi buta begini sih!" Aurora balas teriak ketus.

Aurora mengacuhkan Alfin. Aurora mulai kembali ke "penghayatan" pantainya. Aurora tidak melamun, Aurora kan memejamkan matanya. Tapi pikirannya kosong seperti ruangan tanpa properti.

Matahari akhirnya bersinar lembut. Pagi sepenuhnya datang. Karena Aurora bosan hanya memandangi lautan hampa beserta langit yang mulai perlahan biru cerah, Aurora pun mengambil kegiatan baru.

Membuat istana pasir.

Aurora mulai menyekop pasir di sekitarnya lalu memasukkannya ke ember merah kecil di sebelahnya. Setelah itu meratakannya, dan menaruh di permukaan pasir. Dan begitu terus hingga bertumpuk sebesar istana mainan.

Alfin saat ini sedang mengoleskan dirinya dengan tabir surya. Dimulai dari lengannya, kakinya, hingga wajahnya. Padahal daritadi Alfin duduk dikursi pantai yang dinaungi payung pantai besar.

Setelah selesai mengolesi dirinya dengan tabir surya, Alfin pun memanggil Aurora.

"Raa."

Aurora menoleh kearah suara. Alfin pun menyuruhnya ke tempatnya. Aurora hanya mengiyakan dengan langkah malas gontai.

"Apa, Fin?"

"Pakai ini." Alfin menunjuk tabir surya yang tergeletak di meja.

Aurora hanya memutar bola mata malas. Akhirnya ikut mengolesi dirinya dengan tabir surya. Aurora memang tidak suka skincare an. Bahkan jika hanya memakai tabir surya.

Meski Aurora tidak suka berias atau merawat kulitnya, Aurora sudah cantik alami sebenarnya. Ditambah lagi papahnya itu blasteran Indonesia-Belanda. Papahnya sih tidak terlalu menonjolkan ras belandanya. Hanya mata, rambut berwarna coklat terang. Dan kulit putih pucatnya. Sisanya ras indonesianya deh.

Setelah selesai mengolesi diri dengan tabir surya, Aurora pun kembali ke sisi lain pantai dan melanjutkan membuat istana pasir.

Matahari sudah sedikit naik. Jika dilihat dari arah matahari, ini sudah jam sembilan pagi. Pantai pun mulai ramai wisatawan.

Kali ini Aurora berganti kegiatan lagi, Ia tidak ingin liburannya sia-sia dengan hanya tiduran atau bermain ponsel. Aurora ingin menjadi lebih produktif dengan liburannya.

Aurora sedang berjalan-jalan di tepi bibir pantai. Melewati para wisatawan yang sibuk sendiri dengan liburan mereka. Apalagi ini hari sabtu.

Entah kenapa Aurora suka sekali berjalan-jalan sendiri. Bahkan jika dilihat, Aurora sudah jauh sekali dari tempat dimana Alfin bersantai. Aurora membiarkan kaki-kakinya terkena ombak yang mulai naik. Sambil memegangi topi pantai besarnya yang daritadi hampir tertiup angin pantai.

Aurora senang sekali. Aurora mengayunkan salah satu kakinya naik turun seperti ayunan untuk membuat cipratan kecil di genangan sisa ombak air laut.

Tidak pernah terlintas di benaknya, bagaimana bisa dia adalah gadis paling bahagia dan beruntung? Dia terlalu sibuk mengonsumsi komentar dan kritik orang-orang di sekitarnya. Bahkan terkadang dia selalu merasa tidak pernah cukup apa yang dimilikinya. Selalu putus asa menginginkan lebih, lebih, dan lebih.

Bayangkan saja, dirinya memiliki sahabat yang sudah seperti kakaknya sendiri. Selalu ada di setiap suka dan duka. Menemaninya ketika sedih, menyemangatinya ketika putus harapan, ikut bahagia jika dirinya sedang bahagia. Oh iya, juga mendapat pelukan yang selalu Aurora hindari padahal pada akhirnya dirinya merasa nyaman.
Lalu papahnya, yang Aurora anggap adalah cinta pertamanya sendiri. Papahnya tidak pernah memberi kebatasan atas kasih sayang dan perhatian untuk putri semata wayangnya itu. Jika papahnya memiliki masalah, papahnya tidak akan pernah menceritakan itu kepada putrinya. Papahnya ingin masa-masa bahagia putrinya berjalan mulus tanpa masalah. Papahnya amat protektif. Bahkan jika ada laki-laki lain yang ingin mendekati Aurora (kecuali Alfin tentunya), papahnya pun tidak hanya diam. Meski itu berarti harus mengurung anaknya dirumah selamanya.

Juga mamahnya yang amat perhatian. Jika Aurora terluka kecil, bahkan seperti tergores ujung meja. Mamahnya sudah pasti mengkhawatirkannya dan segera memeriksa keadaan bagian tubuh lain putrinya itu. Mamah Aurora itu mamah yang idaman. Aurora tak pernah menyadarinya. Jika Aurora mendapat nilai kecil di suatu mata pelajaran, mamahnya akan menyemangati bukannya memarahi. Mamahnya begitu tulus nan lembut. Bahkan memarahi Aurora saja tidak tega. Bahkan saja membela dan melindungi Aurora jika papahnya Aurora yang amat protektif sedang memarahi putrinya itu.

Aurora itu gadis yang istimewa. Meski iya memang dia suka tidak percaya diri, cengeng, pemarah terkadang. Dirinya tidak akan pernah menceritakan keluh kesahnya kepada siapapun termasuk Alfin. Kecuali jika Alfin sudah tahu duluan.

Tapi... Tahukah kalian.






--To be contuined--

Notes:

Menggantung itu wajib. Digantung hatinya aja udah biasa, masa sama cerita engga bisa. Sekalian digantung hidupnya deh.
-Audd

Aksara TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang