|Chapter 21|

2 1 0
                                    

Chapter 21: Berduel.

!Warning! Part ini sedikit mengandung gore(ngan) dan blood ringan. Silahkan tinggalkan jika kamu punya phobia darah atau phobia kekerasan. Terima kasih♥.

"Hah?" Ravel bertanya balik.

"Rahma, dia kakak sepupumu kan,"

"Kalo sudah tahu ngapain nanya?" Ravel memukul pelan lengan Aska. Yang dipukul hanya tertawa pelan.

Tapi perlahan wajah Ravel menjadi lebih murung.

Aska menangkup wajah Ravel dengan kedua tangannya. Kedua mata mereka saling menatap. Ada tatapan sendu di mata hitam Ravel. Lalu tatapan penasaran di mata coklat tua Aska.

"Ada apa, Ravel?"

Ravel memejamkan mata sejenak lantas membukanya lagi.

"Tidak apa." Ravel melepaskan tangan Aska yang memegangi kedua pipinya tadi.

"Lantas? Kenapa murung lagi?"

"Itu bukan masalahmu. Ayo kembali ke sekolah." Ravel beranjak berdiri.

Aska menghembuskan nafas pelan. Lantas mengikuti langkah Ravel.

Mereka berjalan beriringan menuju parkiran taman. Hening dalam pikiran masing-masing untuk ke sekian kalinya.

Ravel. Dalam pikirannya, bagaimana kakak kelasnya ini tahu bahwa Rahma adalah sepupunya?

Dia kan anak baru.

Yang sekedar bertugas mentor.

Aska? Pikiran iblis tidak usah dipikirkan.

Ravel memegang lengan Aska. Aska langsung menoleh karena merasa ada yang menyentuhnya.

"Aku ingin ke toilet sebentar."

Aska menggangguk dan duduk di kursi taman dekat situ menunggu Ravel.

Setelah selesai dari toilet, Ravel mencuci tangan di wastafel. Ravel menatap dirinya di cermin.

Kenapa hidupnya selalu ada yang kurang? Malahan hingga hilang.

Ravel sadar, wajahnya tidak secantik satu perempuan pun di sekolahnya. Bahkan dengan Aurora anak blasteran itu.

Derajatnya? Hartanya? Tidak sama sekali.

Ravel menghembuskan nafas pelan.

Dirinya tidak ingin membuat kakak kelasnya–mentornya menunggunya. Kondisi toilet cukup sepi. Mungkin karena masih pagi.

Saat Ravel tengah berjalan keluar, Ravel mengernyitkan dahi setelah melihat di ambang pintu toilet ada tiga pria besar.

Ravel sedikit takut.

Tapi positif saja, karena toilet perempuan dan toilet laki-laki bersebelahan, mungkin toilet laki-lakinya sedang penuh.

Ravel berusaha acuh dan berjalan sesantai mungkin. Saat Ravel hendak pergi dari toilet itu, pergelangan tangannya dicekal oleh salah satu pria disitu.

Pria itu tersenyum jahat kepada Ravel.

Ravel sudah tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Berteriak? Ravel terlalu cemas dan shock saat ini.

Berbanding dengan Aska, Aska sedang memainkan jari-jarinya yang nyaris sempurna tanpa kelainan itu.

Tidak juga... Karena itu jari-jari versi manusianya.

Beda cerita jika versi iblisnya.

Ini sudah hampir setengah jam Aska menunggu. Aska pun merasa bosan.

Aksara TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang