|Chapter 18|

0 2 0
                                    

Chapter 18: Misteri.

Keesokan paginya.

"Bunganya cantik," gumam Aurora pelan.

Kini Aurora berada di taman kecil yang letaknya di belakang rumah sakit. Taman itu diisi bunga-bunga dan pepohonan rindang. Beberapa pasien juga sedang disini untuk menikmatinya. Seakan lupa bahwa mereka memiliki penyakit.

"Mah, Arra mau jalan sendiri. Arra udah bisa kok," lirih Aurora kepada Mamahnya itu.

"Arra...,"

"Kata dokter, kamu belum pulih sepenuhnya. Jadi harus pakai kursi roda dulu ya sayang." Norra menggenggam tangan putrinya itu.

Aurora hanya mendengus pasrah. Sebenarnya itu sedikit bohong, dirinya masih kesulitan berjalan sendiri.

"Mah, Arra mau ke kamar lagi aja," lirih Aurora pelan.

"Oke sayang." Norra pun mendorong kursi roda yang berisi putrinya itu.

***

"Hadeh hujan lagi, hujan lagi...," gumam Alfin yang tengah berjalan melewati lapangan sekolah.

Hari ini Alfin memutuskan bersekolah. Padahal dirinya bisa saja tidak sekolah, apalagi orang tuanya yang jarang di rumah. Sehingga dirinya bebas melakukan apapun meski memiliki dua saudara di rumah. Tapi demi melihat Aurora, apa salahnya?

Seharusnya hari ini pagi yang cerah. Namun entah kenapa rintik hujan datang seketika di daerah rumah hingga sekolah Alfin. Sedangkan di daerah dimana Aurora dirawat amat cerah sekali cuacanya.

"Hai...,"

"Butuh ini?" Sahut tiba-tiba seseorang di belakang Alfin.

Alfin menoleh ke belakang. Melihat siapa yang berbicara. Meski pagi ini sekolah ramai, tapi suara itu dekat sekali di telinga Alfin.

Saat melihat ke belakang, Alfin mengernyitkan dahi.

"Apa maumu?" Ketus Alfin.

"Ya cuman ngasih payung doang sih. Emang engga boleh? Lagian hujan mulai deras nih." Seseorang itu menunjuk awan gelap diatas mereka.

"Engga perlu makasih. Aku bisa langsung ke gedung sekolah." Alfin melambaikan tangan malas dan berjalan meninggalkan anak itu.

"Eh tunggu, Fin!" Anak itu tetap berkutat mengikuti Alfin.

"Alfin dengerin dulu." Anak itu menghentikan langkah Alfin di koridor sekolah.

"Apa sih," malas Alfin.

"Aku tahu kamu benci aku. Benci banget kan. Tapi kasih aku kesempatan, aku bakalan berusaha merubah diri. Seperti dulu itu," anak itu berkata sambil menghalangi Alfin.

"Kata-katamu seperti itu." Alfin menunjuk tong sampah di dekat mereka.

Anak itu menunduk. Tapi dirinya tetap menghalangi jalan Alfin.

"Denger, Vel,"

"Gausah lakuin hal bodoh ini. Buang waktu aja buat kamu juga aku. Mending lakuin hal lain yang lebih produktif. Sekeras apapun usahamu buat ambil hatiku bla bla itulah, hasilnya sama aja," Alfin berkata datar.

Aksara TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang