!Warning! Chapter ini mengandung sedikit gore(engan). Tidak parah amat sih, hanya ringan saja. Tapi tetap aku ingatkan, siapa tahu aja ada yang paranoid hal begini.
Chapter 7: Petunjuk konflik.
Suara pisau menusuk korbannya berkali-kali terdengar. Seperti saat kamu memotong daging, tapi ini versi menusuk.
"Akhirnya selesai juga." Seru seseorang yang membuat suara tusukan tadi.
"Well, kurang satu lagi." Orang itu sambil mengusapi wajahnya dengan bahunya, wajahnya tertutupi banyak darah.
"HMPH! HMPHH!" Seseorang lainnya yang berusaha berteriak minta tolong, namun mulutnya dibungkam lakban (solasi/plester hitam besar.)
"Aduh nona muda, jangan berisik nanti mati loh." Seru seseorang yang tadi membunuh-yaa jika menusuk seseorang berarti bisa dibilang membunuh ya kan.
"Ada kata terakhir?" Si pembunuh itu akhirnya melepaskan lakban di mulut gadis itu.
"Berpikirlah bodoh! Setelah kamu melakukan perjanjian dengan iblis sialan itu! Kamu gabakal bebas sampai mati sekalipun! Bahkan anakmu yang tak bersalah!" Teriak parau si korban dengan rambut berantakan, wajah dan pakaiannya penuh darah hasil cipratan temannya yang dibunuh tadi.
"Hahaha, aku tahu. Tapi kamu tahu bukan? Perjanjian dan kebiasaan ini memang terwarisi dari nenek moyangku. Alasannya sih sederhana. Tapi nanti aku tidak akan membiarkan perjanjian ini ikut jatuh ke anakku juga, biarkan hanya aku yang menanggungnya." Senyum kecut si pembunuh.
"Hanya itu pesan terakhirmu, nona manis?"
"Alright, selamat jalan."
Si pembunuh tidak menusuknya, tapi perlahan mengambil kedua bola mata si gadis itu. Si gadis mulutnya kembali dibungkam dengan lakban hitam. Si gadis hanya bisa berteriak kesakitan tapi apa daya, siapa yang bisa mendengarnya? Si pembunuh tidak berhenti melakukan aksinya.
Dua bola mata menggelinding di lantai. Si gadis akhirnya mati karena shock. Darah membanjiri wajah nya karena kedua matanya yang diambil secara perlahan paksa.
Si pembunuh merasa tidak puas. Si pembunuh mulai memotong satu per satu bagian tubuh si gadis itu.
Darah membanjiri ruangan gudang itu. Lantai yang tadinya berkeramik putih, seketika merah kelam karena darah-darah yang dibunuh. Bahkan ke dinding yang berwarna putih.
"Huft, dua beban terselesaikan seketika." Senyum bangga si pembunuh.
"Elle..." Sahut pelan seseorang lainnya.
Yang dipanggil menoleh ke belakangnya, arah suara itu.
"Sayang... Peluk." Seru si pembunuh membentangkan kedua tangannya yang penuh darah itu.
"Engga mau kamu menjijikkan. Mandi dulu." Seru seseorang yang tidak lain adalah istri si pembunuh.
Si pembunuh hanya tersenyum. Melangkahi para korbannya, dan menghampiri istrinya.
"Masa sama suaminya sendiri begitu? Ayo dong peluk." Ajak si pembunuh sambil memasang wajah polos.
Si istrinya itu hanya membuang muka, menoleh kearah lain. Berusaha tidak mencium aroma busuk para mayat yang dibunuh suaminya itu.
Si pembunuh hanya memutar bola mata malas. Ia menjentikkan kedua jarinya, simsalabim darah-darah di pakaian, wajah, rambut, dan seluruh di dirinya hilang seketika.
"Kalo sekarang boleh?" Tanya si pembunuh yang membentangkan kedua tangannya lagi.
Si istri yang yang tadi menoleh kearah lain tersenyum. Lantas menoleh kearah suaminya itu, dan memeluknya dengan hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Terakhir
Fiksi Remaja[FIKSI REMAJA-MISTERI] *Juga sedikit bumbu romansa remaja dan gore(ngan) ringan. Aurora dengan kehidupannya yang damai dan bahagia. Orang tua yang amat perhatian, sahabat selayaknya kakak sendiri, dan teman-temannya yang seperti keluarga. Kedata...