Sesuai janji, Alvaro menjemputnya untuk berangkat sekolah bersama. Sekadar informasi, sekarang ia sudah tidak membuat kesalahan-kesalahan seperti berangkat terlambat, atau terlambat mengumpulkan tugas. Ia lebih terarah karena dekat dengan Alvaro, cowok itu memang membawa energi positif dalam hidupnya.
Kini mereka telah sampai di sekolah lebih cepat dari biasanya, seperti Alvaro yang sudah mencapai keberhasilan telah mendekati seorang Titania lebih dari waktu yang sudah ia prediksikan. Sebuah panggilan mengalihkan tatapan Titania yang tadinya sibuk dengan sekitarnya kini menatap tepat di ponsel Alvaro.
Alvaro tidak mengangkat panggilan itu, cowok itu hanya mendiamkan dan kembali menaruh ponselnya di saku. Titania mengerutkan keningnya bingung, kenapa tidak diangkat? "Siapa?" tanyanya.
"Teman lama, yuk ke kelas," ajaknya yang diangguki oleh Titania.
Titania mengangguk, hanya saja pikirannya masih dengan foto profil yang terlihat sangat cantik. Entah kenapa ia menjadi merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Alvaro- eh? Tidak, tidak! Titania mengelak dari perasaannya, ia tidak mungkin kan mencintai Alvaro sesingkat ini?
"Kenapa ngelihatin aku terus?"
"Gue nggak maksa lo buat jadi cewek gue kok, tenang aja. Gue nggak mau lo terbebani, lagi pula selesaikan dulu masalah lo sama mantan lo itu."
Titania yang mendengar hal itu pun menghela napas berat. "Lagian gue sama Bara emang udah nggak ada hubungan apa-apa kok, dan jujur aja semenjak kenal lo gue jadi lupa sama anak kecil yang perhatian bernama bara."
Titania mengatakan itu dengan membayangkan sosok kecil yang selalu menenangkan di kala dirinya sedang sedih. "Bara sekarang nggak sebaik bara dulu," katanya masih dengan senyumannya.
Alvaro tampak tersenyum misterius.
"Kalau lo mau tahu, gue Bara kecil."
Titania mengingat mimpinya semalam, kenapa mimpi itu seakan nyata? Lagi pula kenapa tiba-tiba Alvaro mengaku sebagai Bara di masa kecil?
"Ta?"
Titania tersadar dari lamunannya dan menatap Alvaro dengan tatapan yang mendalam membuat Alvaro sedikit salah tingkah karena tatapan gadis itu. Apalagi manik indah itu hanya menatapnya hingga ia lupa untuk menegurnya.
Titania tenggelam dalam manik mata Alvaro yang tidak asing di matanya, ia mengingat anak kecil yang sangat suka memberinya permen dan menenangkannya saat ia menangis.
"Kamu kenapa menangis?"
Titania yang saat itu masih kecil hanya bisa menangis di pojok gerbang rumahnya tidak menghiraukan laki-laki yang tengah berbicara dengannya. Ia tidak bisa menghentikan tangisannya.
"Aku punya permen, kau mau?"
"Ta?"
"Titania!"
Titania kaget saat lengannya diguncang perlahan oleh Alvaro, gadis itu meminta maaf pada Alvaro. "Sorry, kenapa? Lo ngomong apa?" katanya membuat Alvaro tersenyum pelan.
"Lo nggak apa-apa?"
Titania berdehem ringan dan mengangguk. "Iya, gue nggak apa-apa kok."
***
Titania memerhatikan seseorang yang sedang bermain basket di lapangan outdoor. Gadis itu berkedip lambat menatap para siswi yang bersorak menyemangati orang yang sedang bermain, Titania terdiam semuanya seolah-olah semua pada masa lalu.
Di mana ia bersorak untuk menyemangati kekasihnya yang nantinya akan dibalas oleh kedipan Bara tanpa diketahui siapa pun, yang mereka tahu Bara hanya membuat para Fangirl bahagia
Seseorang duduk di samping Titania, ikut menonton apa yang sedang gadis itu tonton. Air mineral yang dipegangnya kini sudah berpindah tangan karena ia memberikannya pada gadis itu. "Bara pernah jadi yang paling spesial ya?"
Titania yang mendengar pertanyaan seperti itu hanya salah tingkah, sementara cowok yang bertanya hanya menghela napas berat. "Alasan lo suka sama dia apa?"
"Dia baik sama gue dari kecil."
Alvaro terdiam di tempatnya, cowok itu menatap Titania yang sekarang tengah menatap Bara. Kemudian, Alvaro menghela napas semakin panjang dari sebelumnya. "Gue selalu terlambat ya, dalam keadaan apa pun. Gue selalu kalah," katanya.
"Kalah dari siapa?"
Alvaro terkekeh kecil. "Apa kalau gue bilang gue adalah Bara yang dari kecil sama lo, lo bakalan suka sama gue?" tanyanya. Alvaro tahu ini konyol untuk ditanyakan pada seseorang yang hatinya sudah milik orang lain.
"Maksud lo apa?"
Titania tampak kebingungan dengan ucapan Alvaro, cowok itu memutuskan untuk membawa Titania pergi dari sana meninggalkan pertandingan basket. Diam-diam seseorang menatap kepergian dua orang menahan pedih di dadanya.
Alvaro mendudukkan Titania di kursi kantin yang berada di pojok, kantin tidak terlalu ramai karena hanya ada beberapa orang di sini. Cowok itu mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin buah ceri yang sangat lucu, sementara Titania yang melihat hal itu pun membelalakkan matanya kaget.
"Ini buat kamu, jangan lupain aku ya."
Titania menunjuk kalung dan wajah Alvaro dengan tatapan yang sulit diartikan. Alvaro tersenyum tipis mendengar reaksi Titania, Alvaro memberikan kalung itu pada Titania. "Gue balikin kalungnya, dan lo tahu artinya kan?"
"Nanti kalau ketemu lagi, kamu balikin ya? Nanti kamu aku kasih satu permintaan terserah kamu," kata Titania kecil dengan bahagia.
"Ta- tapi kamu bukan Bara!"
Alvaro meminta Titania agar duduk di tempatnya dengan tenang. "Gue bakal jelasin baik-baik, Ta. Tenang dulu," kata Alvaro mencoba membuat Titania tetap tenang di tempatnya, gadis itu menggenggam kalung berwarna silver itu dengan erat seperti hendak menghancurkannya.
***
"Nama kamu siapa?"
"Bara."
Titania mengingat jelas dari perkenalannya dengan Bara hingga ia harus berpisah dengan cowok itu dulu. Ia memberinya sebuah kalung yang memiliki liontin berbentuk buah ceri, hanya saja cowok itu bernama Bara Avriana bukan Alvaro Narendra.
"Gue tau gue pengecut, gue pada saat itu terkenal pendiem dan nggak mungkin buat nyamperin orang asing kayak lo. Sayangnya saat itu gue merasa sedih liat lo nangis," kata Alvaro. "Gue menggunakan nama Bara, biar nama gue nggak lo ketahui."
Titania menghela napas panjang. "Tapi lo bukan Bara! Lo Alvaro!"
"Gue tahu, Ta. Gue tahu gue salah, gue tahu dengan meminta Bara buat jagain lo itu salah besar. Lo terluka, gue nggak becus jagain lo."
Titania terkekeh kecil, ia bingung harus bersikap seperti apa. Di sisi lain ia pun merasa posisi Bara sudah tergantikan oleh Alvaro yang selalu ada untuknya, gadis itu akhirnya menghembuskan napas panjang. "Jadi sekarang lo mau apa?"
"Izinin gue tetap bersama lo, ngobatin luka hati lo karena Bara. Izinin gue buat jadi orang yang bisa lindungi lo," katanya dengan sungguh-sungguh membuat Titania celingukan menatap ke arah kanan dan kiri, ia bingung harus mengatakan apa.
"Tapi-"
"Lo udah janji buat nurutin permintaan gue, dan permintaan gue cuma satu, lo jadi pacar gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Troublemaker
Teen Fiction- Karena hanya sampah yang mau menerima sampah - *** Disayangi oleh orang yang disukai bukankah hal yang menyenangkan? Lalu, bagaimana jika dibenci oleh orang yang disukai? Bahkan, sampai bunuh diri dan hampir mati saja dia tidak peduli. Bagaimana...