Raina menangis di ruang tamu rumah Alvaro, Elena yang melihat hal itu pun tidak tega. Memang keterlaluan putranya, seharusnya Alvaro bisa lebih halus untuk menyuruh Raina menjauh dari kehidupannya.
"Maafkan, Tante ya. Ini semua salah Tante, kalau saja Tante nggak mendukung kamu ... ini semua tidak akan terjadi," kata Elena pada Raina.
Sementara Raina mengusap air matanya, ia menangis karena ia sangat sedih karena patah hati untuk yang ke sekian kalinya. Ini salahnya karena terlalu berharap pada seseorang, ia terluka karena perasaannya sendiri.
"Lo nggak perlu lagi dekati gue, gue udah punya pilihan gue sendiri. Jangan jadi murahan cuma buat ngejar gue," kata Alvaro dengan tatapan serius.
"Salah kalau aku mencoba buat kamu jatuh cinta sama aku? Aku udah menemani kamu selama ini, Al. Ini balasannya?"
"Gue mau lo bahagia dengan jalan sendiri, gue berhak atas pilihan gue. Baik lo ataupun bunda nggak berhak atas diri gue, lo paham kan?"
Beberapa ucapan Alvaro terngiang-ngiang, mungkin benar. Lebih baik ia mengalah dan membiarkan Alvaro bahagia dengan pilihannya, suka atau tidak ia harus menerima sekaligus sakit hati.
Bukankah level tertinggi dari mencintai adalah mengikhlaskan? Ia akan melakukannya, untuk Alvaro dan dirinya sendiri.
***
Sekarang Titania dan Alvaro duduk berhadapan di kantin sekolah, hanya berdua dan tidak ada yang lain. Rasa sakit yang ada di hati Titania tentu saja masih, ia tidak pernah bisa melupakan kejadian itu.Ditambah lagi ia kehilangan ayahnya, membuat rasa sakit di hatinya semakin besar. Jika ia bisa, ia ingin marah dan berteriak sekeras-kerasnya. Hanya saja ia harus kuat, tidak boleh lemah.
"Gue minta maaf sama lo, Tha."
Ucapan Alvaro tidak didengarkan oleh Titania, gadis itu tengah sibuk dengan pikirannya. Alvaro merasa dirinya masih diabaikan pun hanya bisa menghela napas berat.
"Gue harus bagaimana supaya lo percaya kalau gue sayang sama lo," katanya lagi.
Titania tersadar. "Apa?"
"Kenapa?" tanya Alvaro menatap wajah bingung gadis di depannya.
"Lo ngomong apa?" tanya Titania.
Titania sama sekali tidak mendengarkan ucapan Alvaro, gadis itu sibuk dengan pikirannya. Menghela napas panjang, dan menatap Alvaro dengan tatapan lembut. "Sorry, gue nggak dengar."
Alvaro yang mendengar hal itu pun cukup senang dengan hal ini. Ia tersenyum tipis dan menatap Titania, "Ta, gue minta maaf."
Titania yang mendengar Alvaro membahas hal yang lalu pun hanya menghela napas. Jika dibilang ia sudah move on, Titania masih mengingat jelas kenangan tentang dirinya dan Alvaro. Gadis itu memang belum bisa melupakan Alvaro sepenuhnya.
"Ya sudah, itu semua sudah berlalu."
Alvaro yang mendengar hal itu pun menghela napas panjang dengan tatapan yang masih mengarah pada gadis itu. "Enggak bisa gitu dong, Ta."
"Terus lo maunya bagaimana?"
Alvaro yang ditanya seperti itu pun bingung, ia ingin selalu bersama dengan Titania. Hanya saja ia tidak bisa melihat gadis itu tersiksa bersamanya. "Gue mau lo maafin gue," katanya dengan ragu.
Sementara Titania yang mendengar hal itu pun merasa kecewa, Alvaro tidak ingin hubungan mereka kembali seperti semula? Titania mengangguk. "Gue udah maafin lo kok, tenang aja."
Alvaro tersenyum senang melihat hal itu, ia dapat berbicara dengan Titania saja membuat dirinya bahagia sekali. Ia harus berterimakasih pada Bara karena cowok itu sudah mau mengalah dan membiarkan dirinya berbicara dengan Titania.
Titania melirik jam yang ada di pergelangan tangannya, beberapa menit lagi bel masuk berbunyi. "Gue ke kelas dulu ya, sudah mau bel."
"Ayo bareng."
***
Alvaro memang kembali ke kelas bersama Titania, tetapi cowok itu hanya memastikan bahwa Titania kembali ke kelas dengan selamat. Setelah itu, ia segera pergi dari kelas meskipun bel sudah berbunyi, ia tidak peduli.
Ia mendatangi Bara yang sedang berkumpul di depan kelas, sementara Bara yang melihat kedatangannya pun langsung menghampiri.
"Lo nggak marah sama gue?"
Bara memicingkan matanya. "Marah buat apa?" tanyanya bingung membuat Alvaro menggaruk kepalanya yang tidak gatal, benar juga apa kata Bara. Buat apa dia marah?
"Tentang lo sama Titania?"
Tanaman Bara benar, dan tentu saja diangguki oleh Alvaro. Bara terkekeh dan mengajaknya duduk di samping kelas. Kebetulan kelas Bara sedang tidak ada guru meskipun bel sudah berbunyi.
"Kalau gue ikutin ego gue, gue nggak bakal izinin lo dekat sama Titania lagi. Tapi dia bisa terluka kalau gue paksa dia jauhi lo, dia sayang banget sama lo. Gue nggak bisa lukai dia lagi, susah buat dapat maaf dari dia."
Alvaro mengangguk mengerti. "Gue juga nggak mau bikin dia sakit hati terlalu lama, gue nggak mau bikin dia terluka. Gue bakal jauhin di."
"Lo yakin nggak menyesal kalau lepasin Titania begitu aja? Lo yakin Titania nggak apa-apa kalau lo menjauh dari dia?" kata Bara membuat Alvaro kembali berpikir.
Apakah Titania masih mau bersamanya?
"Gue biarin lo ngomong sama Titania buat memperbaiki hubungan lo, bukan kayak gini. Bego lo," katanya membuat Alvaro menghela napas, ia terima Bara memakinya mungkin ia bodoh tentang hal ini.
"Gue-"
"Sebelum itu, selesaikan dulu hubungan lo sama Raina yang nggak jelas itu. Hubungan kalau cuma satu pihak yang menjalani, itu nggak akan berhasil. Contohnya lo sama Raina, lo nggak benar-benar sayang. Lo cuma kasihan sama dia," kata Bara dan menepuk pundak Alvaro.
"Gue nggak bakal diam kalau lo masih sama Raina," lanjutnya. "Gue masuk, ada pak Ilman. Ingat kata-kata gue!"
Alvaro menatap Bara yang berjalan menjauh darinya, ia merasakan ponselnya bergetar dan menatap layar ponselnya. Ia tersenyum tipis saat melihat nama sang pengirim pesan membuatnya bahagia.
Balik cepat, Bu Lia udah masuk.
Ia segera melangkah kembali ke kelasnya, menuruti apa pesan yang Titania kirimkan. Ia bahagia? Tentu saja! Siapa yang tidak bahagia mendapatkan pesan dari sang pujaan hati?
Alvaro kembali ke kelasnya dengan perasaan yang sangat gembira, tentu saja karena pesan yang dikirimkan oleh gadis itu. Ia tersenyum ke arah Titania dan menghampiri guru yang sedang duduk mengabsen setiap siswa.
"Maaf, Bu. Saya habis ke toilet," kata Alvaro berbohong.
Hanya saja sang guru mempercayainya dan menyuruh Alvaro untuk duduk di tempatnya. Alvaro menatap ke arah Titania yang duduk di seberang, sekarang memang gadis itu memilih pindah tempat duduk karena dirinya.
Titania yang melihat Alvaro mencuri-curi pandang ke arahnya pun hanya bisa tersenyum dalam hati, ia seperti kembali jatuh cinta pada cowok itu. Beberapa kali mereka bertatapan membuat mereka senyum-senyum.
Titania berpikir, jika bahagianya terdapat pada Alvaro kenapa ia tidak memaafkannya? Memaafkan sumber kebahagiaannya bisa membuat hatinya tenang kan?
***
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Troublemaker
Teen Fiction- Karena hanya sampah yang mau menerima sampah - *** Disayangi oleh orang yang disukai bukankah hal yang menyenangkan? Lalu, bagaimana jika dibenci oleh orang yang disukai? Bahkan, sampai bunuh diri dan hampir mati saja dia tidak peduli. Bagaimana...