Titania diseret dengan paksa oleh Alvaro untuk menemui seseorang, gadis itu dengan wajah sembabnya diseret paksa. Alvaro ingin masalahnya selesai hari ini juga, sementara Titania enggan membahas masalah ini.
Gadis itu hanya ingin hubungannya berakhir, ia tidak mau dicap sebagai perusak hubungan orang. Gadis itu meraung minta dilepaskan, sementara Alvaro tidak memikirkan hal itu.
"Lepasin gue!"
"Ikut gue!"
Titania mengusap air matanya kasar dan beberapa kali memberontak meminta dilepaskan. Gadis itu sudah tidak peduli jika dirinya sudah menjadi tontonan orang-orang yang masih berada di sekolah.
Alvaro menutup mobilnya dengan kasar membuat Titania memejamkan matanya. "Gue nggak mau dicap sebagai perusak hubungan orang, gue mau kita putus dan lo balik lagi sama cewek lo!"
Alvaro menatapnya tajam. "Udah berapa kali gue bilang? Gue nggak mau lo ambil keputusan sepihak, gue mau ada persetujuan antara gue dan lo. Terserah lo mau gimana, kalau gue nggak ngizinin itu nggak bakal terjadi."
Titania diam.
"Gue nggak mau putus!"
Titania hanya diam saja di dalam mobil Alvaro, sementara Alvaro mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Hal itu membuat Titania kesulitan untuk bernapas, Alvaro memarkirkan mobilnya di depan taman yang sudah ia janjikan bersama Titania.
"Ayo."
Titania pasrah saja saya Alvaro mengajaknya masuk ke dalam taman, dan di ujung sana terdapat gadis bernama Raina membuat jantung Titania berdegup dua kali lebih cepat.
"Kamu udah datang," sapa Raina membuat Titania terdiam dengan bibir yang terkatup rapat.
"Jelasin sama Titania kalau gue nggak ada perasaan apa-apa sama lo," kata Alvaro langsung membuat Raina menatap wajah Alvaro dan Titania dengan bingung.
"Kan kita emang pacaran," kata Raina membuat Titania mendengus kecil, dirinya memang sudah tahu apa yang terjadi pada mereka sebenarnya. "Aku kan sayang sama kamu, Al. Tapi kamu pacaran lagi sama Titania," lanjutnya.
"Titania merusak hubungan kita kan."
Alvaro menatap Raina dengan tatapan tajam, kemudian ia hendak berteriak marah jika Titania tidak menghentikan kegiatannya. Alvaro mengatupkan bibirnya rapat saat Titania menyuruhnya diam, gadis itu mengangkat teleponnya.
"Halo, ada apa Om?"
"Kamu lagi sama siapa?"
Titania melirik ke arah Alvaro dan kembali berbicara, "sama teman aku."
"Om mau ngomong sama dia, sebentar."
"Mau apa, Om?" tanya Titania yang bingung dengan omnya di seberang sana terdengar samar-samar suara teriakan dan tangisan ibunya. "Itu yang nangis Mama Om?"
"Kasih ke teman kamu dulu, cepat ya."
Jantung Titania menggila, kenapa mamanya berteriak dan menangis dengan kencang. Dengan ragu Titania memberikan ponselnya pada Alvaro yang masih menatapnya.
Titania memperhatikan gerak-gerik Alvaro yang sedang menjawab telepon dari omnya, setelah itu Alvaro segera mengajaknya kembali ke rumah.
"Ayo pulang, kita urusin ini nanti saja."
***
Titania kembali ke rumahnya dengan wajah linglung, sementara Alvaro mengajaknya dengan tenang. Jantung Titania sudah berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya, kenapa rumahnya ramai?
Dengan langkah perlahan, gadis itu melangkah masuk ke dalam rumahnya dan disambut hangat oleh saudara dan neneknya. Kenapa mereka semua ada di sini?
Titania melirik ibunya yang masih menangis, tanpa sadar air matanya menetes melihat ibunya menangis. Gadis itu mengusap air matanya perlahan dan menyalami satu persatu saudaranya, begitu pun Alvaro.
"Ada apa sih? Kok pada ngumpul?" tanya Titania yang masih berusaha mengusap air matanya, ibunya menyadari keberadaan Titania pun segera menghampiri dan memeluk gadis itu dengan erat.
"Ta, Papa-" suara ibunya tercekat membuat tenggorokan Titania ikut tidak bisa mengeluarkan suara, air matanya menetes. Ia benar-benar sudah tidak bisa berpikir jernih sekarang.
"Pesawat Papa hilang kontak," kata Dinda kemudian menangis sesenggukan di pelukan Titania.
Bagai petir di siang bolong, berita itu seakan membuat lutut Titania lemas hanya saja ia harus kuat. Gadis itu meneteskan air mata dalam keheningan, "Ma, do'akan saja semoga papa baik-baik saja."
Ucapan itu jelas hanya untuk menenangkan ibunya, padahal dalam hatinya pun sudah tidak karuan. Sementara Alvaro hanya memperhatikan gadis itu, Alvaro jelas sadar dan merasakan jika semua orang yang ada di sana tengah bersedih atas apa yang terjadi dengan ayah dari Titania.
"Mah!" teriak Titania saat tubuh ibunya memberat, Alvaro yang melihatnya pun dengan segera menopang tubuh ibu Titania karena gadis itu tidak kuat menahannya. Beberapa orang membantu untuk memindahkan Dinda ke sofa.
"Kamu ganti baju gih," suruh Tante Lia.
Titania mengangguk, kemudian gadis itu melirik ke arah Alvaro. "Kamu pulang aja," katanya.
"Ta-"
"Tolong ngertiin aku."
***
Lutut Titania lemas saat melihat berita yang mengatakan bahwa ada pesawat yang jatuh di sekitar gunung, dan gadis itu masih tidak menyangka jika ada ayah di dalam pesawat itu.
Mamanya jelas sangat terpukul dengan semua hal yang terjadi hari ini, Titania benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dia sedih kehilangan ayahnya, ia juga sedih kehilangan Alvaro, namun ibunya membutuhkan dirinya untuk menyemangati.
Pihak penerbangan sudah menghubungi keluarganya membuat tangisan mamanya semakin tidak terkendali dan ucapan duka datang dari tetangga-tetangga dan mamanya Bara serta bundanya Alvaro pun datang.
Bara menghampirinya dan memeluk Titania membuat Alvaro hampir saja mengamuk, Titania yang merasakan pelukan hangat dari Bara pun kembali meneteskan air mata.
"Papa, Bar," lirihnya.
Bara mengangguk kecil, cowok itu itu mengusap air matanya yang menetes. "Semua akan baik-baik saja, Ta. Ada gue," kata Bara, meskipun jauh di lubuk hatinya ia juga sama kehilangannya seperti Titania.
Titania menangis sesenggukan di pelukan Bara, rasanya ia menumpahkan segalanya pada pria itu. Tentang semuanya, tentang ayahnya, tentang Alvaro dan tentang yang terjadi hari ini. "Kenapa papa ninggalin gue, Bar?"
Bara tidak bisa berkata apa-apa, cowok itu pun sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak keluar. "Ada gue, lo tenang aja."
"Tenang ya, jangan nangis. Kasihan mama lo, dia butuh seseorang yang bisa nyemangatin dia. Dan orang itu lo, Ta."
Titania mengusap air matanya dan mengangguk kecil. "Iya, makasih udah datang."
"Gue selalu ada buat lo."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Troublemaker
Teen Fiction- Karena hanya sampah yang mau menerima sampah - *** Disayangi oleh orang yang disukai bukankah hal yang menyenangkan? Lalu, bagaimana jika dibenci oleh orang yang disukai? Bahkan, sampai bunuh diri dan hampir mati saja dia tidak peduli. Bagaimana...