29. End

451 44 0
                                    

Gadis itu duduk terdiam di bahu jalan, ia hanya diam dan diam saja. Titania merasa dirinya adalah manusia yang paling bodoh yang pernah ada di bumi ini, kenapa ia harus percaya dengan omong kosong Alvaro?

"Lo kenapa, Ta?"

Titania menggeleng perlahan mendengar pertanyaan dari Bara yang kebetulan tengah menemaninya, cowok itu tadi melihatnya dan berhenti di hadapannya.

"Kalau ada apa-apa cerita, jangan dipendam sendiri."

Titania mendengus. "Kalau pun gue cerita, bukan sama lo orangnya."

"Kenapa?" tanyanya. "Gue kan kakak lo, harusnya lo cerita apa-apa sama gue. Gue lihat lo gini aja gue ikutan sakit, Ta."

Titania terdiam sesaat, ia tidak mau bercerita pada Bara. Ia takut akan ditertawakan karena dirinya menjadi perusak hubungan orang, ia baru saja dilabrak ibu dan kekasih dari kekasihnya. Sialan bukan?

"Lo sama Alvaro, sepupuan?" tanya Titania akhirnya, gadis itu sudah tidak mengeluarkan air mata dan hanya tersisa mata yang memerah dan mata sembab.

Bara mengangguk.

"Dia pernah minta tolong sama lo buat jagain gue?" tanya Titania yang lagi-lagi diangguki oleh Bara, "buat apa?" lanjutnya.

"Dulu gue lumayan dekat sama dia, dan masuk SMA dia kenal banget tuh sama lo. Dia tahu kalau lo masuk ke SMA yang sama sama gue, dan dia minta tolong ke gue buat jagain lo."

Bara terkekeh geli. "Dan sialnya gue jatuh cinta sama lo, Ta. Gue merasa tertarik aja sama lo, gue tahu gue di sini salah. Tapi Alvaro juga nggak benar, dia pakai identitas orang buat kenalan. Lo percaya aja kan dulu gue yang sering nemenin lo waktu kecil? Ya, nama gue emang Bara."

Titania mencoba mencerna kata-kata Bara, jadi selama ini pun ia dibohongi oleh Alvaro? Alvaro yang sewaktu kecil menemaninya menggunakan identitas Bara, kemudian setelah SMA datanglah Bara yang asli.

"Gue emang sayang sama lo, tapi rasa benci gue ke ayah jauh lebih besar yang akhirnya pun bikin gue benci sama lo."

Titania diam saja mendengarnya, itu memang kenyataan.

"Alvaro marah gue udah nyakiti lo, dia akhirnya turun tangan dan pindah sekolah. Sebelumnya gue nggak pernah tahu kalau Raina punya hubungan spesial sama Alvaro."

"Mereka emang punya kok, dan gue merusak semuanya. Gue emang perusak hubungan orang ya, nggak tahu baru kali ini gue sakit hati banget."

Bara yang mendengar hal itu pun menghela napas. "Kata siapa?"

"Bundanya Alvaro, gue nggak tahu harus ngakak apa sedih."

Bundanya Alvaro menemui Titania?

"Lo habis ketemu Tante Elena?" tanya Bara yang diangguki oleh Titania.

"Terlalu istimewa kan gue?"

***

Pagi hari ini Titania sama sekali tidak bersemangat, gadis itu melakukan aktivitasnya setengah hati. Ia benar-benar bingung apa yang harus dilakukannya setelah ia tahu semua tentang ini.

Apakah ia harus menyapa Alvaro seperti biasa seolah tidak terjadi apa-apa? Atau ia memilih untuk menjauh dari Alvaro atau bagaimana?

Gadis itu segera menata tasnya dan bercermin, ia merasa semua sudah lengkap dan segera pergi dari kamarnya. Di meja makan sudah ada ibunya, sementara ayahnya masih berada di luar negeri sehingga tidak sarapan pagi bersama.

"Pagi, Ma," sapa Titania dengan santai, pandangan gadis itu sedikit berbeda karena mata yang tengah bengkak itu.

"Pagi, Mama nggak masak hari ini. Kamu makan roti aja ya, sini Mama siapin," kata Dinda yang diangguki oleh Titania, ia menurut saja apa yang dikatakan ibunya.

"Berangkat sama siapa?"

"Nggak tahu, sendirian paling. Kenapa, Ma?" kata Titania dan memakan rotinya dengan tenang, sementara ibunya hanya sesekali melihat Titania yang terlihat berbeda.

Setelah roti di tangannya habis, Titania berpamitan untuk pergi ke sekolah. "Aku pamit dulu ya, Ma."

"Iya, hati-hati ya."

Titania keluar dari rumahnya dan melirik ke arah gerbang, tidak ada siapa pun di sini. Itu artinya Alvaro tidak menjemputnya kan? Gadis itu menghela napas dan segera melangkah membuka gerbang rumahnya.

Tin tin

Dahi Titania berkerut, untuk apa Bara berada di sini? "Ngapain lo di sini?" tanya Titania dengan tatapan yang kurang bersahabat.

Bara terkekeh melihatnya. "Jemput lo, ayo berangkat."

"Nggak, gue nggak mau."

"Dari pada naik ojeg, belum tentu kang ojegnya ganteng kayak gue," kata Bara dengan kocaknya membuat Titania mengerutkan, sejak kapan Bara narsis seperti ini?

"Nggak gue nggak mau!"

"Sekali-kali gue pengen boncengin adek gue, ayo dih keburu masuk."

Titania akhirnya mengalah dan menaiki motor Bara, kemudian Bara segera melajukan motornya. Sementara seseorang yang baru saja datang hanya menatap gadis itu pergi dengan mantan pacarnya pun sedikit kesal.

***

Alvaro benar-benar dibuat bingung oleh Titania yang seakan menjauhinya, bukannya seharusnya ia yang marah karena gadis itu berboncengan dengan orang lain?

Hari ini ia banyak diabaikan oleh Titania, saat ke kantin pun gadis itu lebih memilih bersama dengan sahabat-sahabatnya. Sementara dirinya hanya seorang diri di sini, ia beberapa kali menghela napas.

Ia hanya seorang diri di kelas, hanya bersama Ria yang duduk di bangkunya sendiri yang itu artinya tepat berada di belakang Alvaro. Ia mengacak rambutnya frustrasi karena Titania tidak mau menjelaskan apa pun perihal semalam pun gadis itu enggan membahasnya.

Tak lama kemudian, Titania kembali seorang diri dan duduk di samping Ria. Saat Titania duduk, Alvaro terus menatapnya. Titania mengacuhkannya membuat Alvaro geram dan menggebrak meja Ria, masa bodoh dengan Ria yang terkejut.

"Lo apa-apaan sih?!"

"Lo yang apa-apaan?! Malem-malem sama Bara, pagi dijemput sama dia! Lo masih sayang sama dia, huh?!" kata Alvaro dengan amarah yang memuncak. "Gue nggak ngerti salah gue apa, jangan kayak anak kecil."

Titania yang mendengar hal itu pun terdiam dan matanya berkaca-kaca. "Gue kayak anak kecil? Bukannya lo yang kayak anak kecil, hah?"

Alvaro diam.

"Gue udah baik sama lo, lebih baik kita lupain apa yang udah kita laluin tiga bulan ini. Lupain semuanya, anggap kita nggak pernah pacaran."

Dada Alvaro bergemuruh, kenapa gadis itu tiba-tiba berbicara seperti itu? "Maksud lo apa sih?"

"Lo nggak capek pura-pura? Lo seakan-akan sangat menyayangi gue dan ternyata enggak," kata Titania dengan napas tersengal-sengal. "Kita berakhir."

"Gue yang memulai dan gue yang berhak mutusin, gue nggak mau lo ambil keputusan lo sendiri tanpa persetujuan gue!"

"Gue nggak mau!" teriak Titania dengan nada melengking, kemudian gadis itu menenggelamkan wajahnya di dalam lipatan tangannya. Ia menangis.

Cowok itu melangkah pergi, ia tidak mau melihat Titania menangis.

TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang