Suasana hati Titania tidak secerah cuaca siang hari ini, hatinya begitu mendung dan gelap. Ia hanya diam sepanjang hari ini, di sekolah bahkan dia masih enggan berbicara dengan Alvaro dan lebih baik ia tidak berbicara dengan cowok itu.
Bahkan, saat dirinya satu kelompok dengan Alvaro, ia lebih memilih diam dan mengerjakan tugasnya dengan baik tanpa banyak kata. Sementara teman satu kelompoknya yang merasakan hawa dingin itu hanya bisa menghela napas berat.
"Siapa yang mau presentasi?" tanya Rino.
"Gue."
"Gue."
Rino melirik Alvaro dan Titania secara bergantian, mereka berbicara berbarengan membuat Rino bingung. Titania yang mendengar hal itu pun menghela napas, begitu pun dengan Alvaro.
"Ya udah dia aja."
"Ya udah Titania aja."
Mereka berucap berbarengan lagi membuat Rino melirik ke arah kanan, ia benar-benar tidak bisa berpikir untuk pasangan di depannya. "Jadi, siapa?"
"Lo aja, gue jawab pertanyaan."
Kelompok yang terdiri dari tiga orang itu pun setuju jika Rino yang mempresentasikan hasil diskusi mereka. Sementara Alvaro hanya setuju saja, ia tidak ingin membuat Titania semakin membencinya.
"Hari ini langsung presentasi?" tanya Titania seraya mengetuk-ngetuk bolpoinnya di meja. Rino mengangguk dan tidak lama kemudian seorang guru memasuki ruang kelas.
"Bagaimana, sudah siap?"
"Siap, Pak."
"Sekarang maju kelompok lima," kata Pak Tio.
Titania menghela napas panjang, kenapa dari sekian banyaknya kelompok harus kelompok dirinya lebih dulu? Dengan langkah berat Titania melangkah ke depan dan duduk di kursi yang sudah disediakan untuk presentasi.
"Titania kamu sakit?" tanya pak Tio yang tentu saja dijawab gelengan kepala oleh gadis itu, Alvaro pun ikut-ikutan menatap wajah Titania membuat gadis itu mendengus.
"Abis putus tuh, Pak."
Alvaro benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran teman satu kelasnya, tidakkah ia berpikir ini untuk dijadikan rahasia kelas saja? Lagi pula dirinya dan Titania belum resmi putus.
Pak Tio menghampiri Titania yang sudah duduk di kursinya. "Benarkah?" tanyanya membuat Alvaro yang berada di ujung meja berdiri dan memukul mejanya.
"Itu nggak benar, Pak!"
Pak Tio mengangkat sebelah alisnya, kenapa Alvaro marah? "Saya bertanya pada Titania, kenapa kamu yang menjawab? Memang apa urusannya sama kamu kalau dia putus atau enggak."
Alvaro mengedipkan matanya dengan cepat menyadari kebodohannya. "D-dia pacar saya pak!"
"Oh begitu."
"Iya, pak."
"Ya sudah, baikan saja dan jangan marahan terlalu lama nanti Alvaronya diambil orang. Kamu nggak tahu ya kalau teman satu kelas ada yang menyukai Alvaro?" kata Pak Tio seraya menepuk puncak kepala Titania dengan lembut. "Jangan terlalu sedih, takutnya ada yang senang lihat kesedihan kamu."
Iya juga ya.
***
Ria mengajak Titania ke kantin dan tentu saja diangguki oleh Titania, sesuai dengan ucapan Pak Tio. Ia tidak boleh terlalu sedih dan menjauhi orang-orang, takutnya ada orang yang suka dengan kesedihan dirinya.
Ria membenarkan kacamatanya dan berjalan di samping Titania. Perbedaan yang nyata jelas di sana, Titania yang terlihat mempesona sedangkan Ria dengan kurang percaya dirinya.
"Pinjem kacamata lo dong, gue pengen pake."
Ria dengan ragu menatap wajah Titania yang menatapnya penuh harap, sementara Titania menatapnya dengan tatapan penuh harap membuat Ria tidak tega. "Tapi jangan lama-lama ya."
Titania bersorak senang dan memakai kacamata milik Ria, gadis itu mengarahkan wajahnya di depan wajah Ria. "Gimana, bagus nggak?"
"Nggak, kamu udah cantik. Jangan pakai kacamata," kata Ria dan merebut kembali kacamata itu, hanya saja Titania tidak memberikannya.
"Lo bagus loh nggak pakai kacamata, lagian kacamata ini bukan kacamata minus kok. Kenapa harus pakai?" tanya Titania seraya menimang-nimang kacamata itu.
"Kamu nggak perlu tahu, ayo kita ke kantin. Sini balikin kacamata aku," katanya dan Titania mengembalikan kacamata itu pada Ria.
Belum sempat Ria memakai kembali kacamatanya, seseorang menyenggol dirinya membuat kaca matanya itu jatuh di lantai dan diinjak oleh orang yang menyenggol gadis itu, Titania melotot tajam melihat Audrey. Titania bergerak maju membuat Ria berteriak dan mencegah gadis itu.
"Udah, nggak apa-apa kok."
"Maaf ya, gue nggak sengaja."
Ucapan maaf yang terdengar sangat menyebalkan membuat Titania menggeram hanya saja ditahan oleh Ria. "Udah, Ta. Aku nggak apa-apa kok, nanti bisa beli lagi."
"Ayo ke kantin," kata Ria seraya menarik tangan Titania yang sudah mengepal. Ia tidak mau membuat Titania melabrak gadis itu sekarang juga, lebih tepatnya ia tidak ingin Titania marah.
Ria membiarkan saja kacamatanya remuk di lantai koridor. Sementara Titania mendengus kesal, Ria mengajaknya untuk ke kantin.
***
"Dia siapa?" bisik Bara pada telinga Titania membuat gadis itu melirik ke arahnya dan gadis yang mendapat bisikan darinya pun menatapnya.
"Dia Ria, teman gue. Cantik kan?" kata Titania memperbesar suaranya membuat Bara menepuk keningnya sendiri.
Ria hanya tersenyum tipis ke arah Bara, yang mana adalah mantan kekasih dari temannya. Bara pun mengulurkan tangannya dan tersenyum mengenalkan diri, ini bukan Bara sekali.
"Tumben lo sopan," kata Titania.
Bara menatapnya dengan tatapan sebal, tidak bisakah ia diam saja? Ia ingin move on, tidak mungkin kan ia terus menaruh perasaan pada adiknya sendiri? Tidak lucu sama sekali. "Dia teman lo, gue wajib tahu."
"Wajib?"
Pertanyaan Titania yang meremehkan membuat Bara mendengus dan mengajak Ria untuk berbicara. Jika dipikir-pikir, Ria adalah gadis yang manis tanpa kacamatanya. "Kacamatanya kok dilepas?"
"Pecah gara-gara mantan lo," kata Titania.
"Siapa? Lo yang rusakin?"
Titania melotot tajam saat Bara menuduhnya menghancurkan kacamata Ria. "Emang mantan lo cuma gue ya? Kok kesannya jadi kasihan ya?"
"Sialan lo, Tha."
Tidak lama kemudian, Alvaro menghampiri mereka dan duduk persis di hadapan Titania. Sementara Ria berhadapan dengan Bara, Titania mendadak diam saat menyadari kehadiran Alvaro, gadis itu seolah tutup mulut dan tidak mau berbicara, ia hanya meminum minumannya.
Bara diam, begitu juga dengan Ria.
Mereka terlalu bingung untuk semua ini, lantas siapa yang akan mengalah untuk bersuara?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Troublemaker
Teen Fiction- Karena hanya sampah yang mau menerima sampah - *** Disayangi oleh orang yang disukai bukankah hal yang menyenangkan? Lalu, bagaimana jika dibenci oleh orang yang disukai? Bahkan, sampai bunuh diri dan hampir mati saja dia tidak peduli. Bagaimana...