Pagi hari yang cerah, Titania menghampiri ibunya yang sedang memasak sesuatu di dapur. Gadis itu tersenyum dan berdiri di samping ibunya dengan semangat, gadis itu pun berniat untuk membantu ibunya.
"Titania bantu ya, Ma."
Mamanya tersenyum dan mengangguk ia memberikan pisau pada Titania. "Kamu udah kenal kan sama ibunya Bara? Gimana baikkan orangnya?"
Titania mengangguk mengingat pertemuannya dengan tante Anna, tante Anna baik dan itu diakui oleh Titania. "Mama kenal dari mana bundanya teman aku?"
"Bundanya Alvaro?"
Titania mengangguk.
"Sahabat Mama waktu SMA, oh iya kamu kayaknya dekat ya sama Alvaro?" kata Mama membuat Titania menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kamu pacaran sama dia?"
"Kata bundanya Alvaro dia udah punya calon menantu, kamu yakin sama dia?"
Ucapan dari Mamanya membuat pikiran Titania down. Benar apa kata bundanya, bundanya Alvaro sudah punya calon menantunya. "Iya, Ma. Titania bingung," katanya.
"Loh, bingung kenapa? Kamu kan sudah besar, sudah dewasa. Yang kamu anggap baik, lakuin aja. Kalau itu yang bikin kamu terbebani, jangan jalani."
"Aku bingung, Ma."
"Ya sudah kamu pikirkan saja dulu, ingat- jangan terlalu sayang dengan dirimu dan jangan terlalu jahat juga."
Bel berbunyi, membuat Titania dan Mamanya saling berpandangan. Titania segera pergi ke depan untuk membuka pintu, entah siapa yang datang pagi-pagi begini.
Titania terkejut mendapati Alvaro tengah berdiri di depannya. Pakaiannya sudah sangat rapi dan membuatnya terkejut, Titania masih memakai piyamanya dan sudah bisa dipastikan jika gadis itu belum mandi.
"Ngapain lo di sini?" tanya Titania dengan panik.
Alvaro yang mendapati Titania masih memakai piyamanya pun terkekeh. "Lo belum mandi ya?" tanyanya membuat wajah Titania memerah.
"Apa sih, lo pergi dulu sana."
"Siapa sih, Ta?" tanya Mamanya yang tiba-tiba datang. "Loh, Alvaro- ayo masuk. Jangan di depan pintu aja."
Mereka segera memasuki rumah Titania, sedangkan gadis itu sudah berlari ke atas untuk mandi. Dinda segera menyuruh Alvaro untuk duduk di meja makan karena mereka akan segera sarapan.
"Om mana, Tan?" tanya Alvaro karena tidak melihat keberadaan ayah dari kekasihnya.
"Om lagi ke luar negeri."
Alvaro mengangguk mengerti.
“Titania kebiasaan, kalau libur pasti mandinya siang. Emang kamu nggak apa-apa sama Titania yang begitu? Oh iya, kamu pacaran ya sama Titania?”
Alvaro pun tersenyum tipis. “Iya, Tan. Aku sama Titania pacaran, dan tentang Titania yang mandinya siang nggak kenapa-kenapa kok.”
Dinda menyiapkan susu untuk putrinya. “Kamu suka susu nggak? Mau Tante buatkan?”
“Oh, nggak usah Tan. Aku nggak biasa minum susu di pagi hari,” kata Alvaro yang diangguki oleh Dinda.
***
Sementara di rumah Alvaro, Elena tampak mencak-mencak di meja makan karena tidak mendapati Alvaro di rumah. Sedangkan suaminya hanya mencoba untuk menenangkan istrinya.
"Udah, Bun. Tadi Alvaro pamit sama Ayah dia mau ke rumah temannya," kata sang suami dengan sabar menghadapi istrinya yang serba heboh.
"Kamu kok ngizinin?"
"Ya dia juga pamitnya buru-buru, untung dia pamit. Kalau tidak bagaimana?"
Elena beralih pada Raina yang sedang menikmati makanannya. "Kamu tahu siapa teman Alvaro yang didatangi pagi-pagi?"
"Aku nggak tahu, Tan. "
"Ya sudah, Ma. Dia kan sudah besar, lagian bebas dia mau main sama siapa aja kan," kata ayah Alvaro yang kurang suka dengan tindakan istrinya.
"Kamu kenapa nggak ikut sama Alvaro aja, Rain?" tanya Bunda membuat Raina tersenyum tidak enak pada ayah dari Alvaro.
"Rain takut kalau Alvaro nemuin pacarnya, Tan. Aku nggak berani ikut, kayaknya Alvaro udah nggak suka sama aku."
Ayah Alvaro hanya diam saja menikmati sarapannya, Elena menatap Raina dengan tatapan sendu. "Maafin Tante ya, udah bikin kamu seperti ini. Nanti Tante bilang sama Alvaro."
"Nggak apa-apa, Tan. Aku ngerti."
**
Titania membenarkan letak tasnya, ia bingung dengan Alvaro yang mengajaknya jalan-jalan di saat hari masih sangat pagi. Hanya saja gadis itu kemudian tersenyum tipis saat melihat pemandangan yang cukup indah.
"Kenapa lo ajak gue ke sini?" tanya Titania saat mereka sampai di sebuah tempat wisata air terjun yang jelas sangat jauh dengan kota dan rumah mereka.
"Katanya datang ke sini bisa bikin hubungan langgeng, Ta. Dan gue berharap itu benar-benar terjadi sama hubungan kita, gue pengen langgeng sampai ke jenjang berikutnya."
Titania yang mendengar hal itu hanya mengangguk kemudian tatapannya beralih pada air terjun yang sangat indah di sana. Gadis itu memegang erat tangan Alvaro agar dirinya tidak terpeleset, karena bebatuan di sana basah dan takutnya licin.
Alvaro menatap Titania yang tampak senang dirinya mengajak ke sini pun tersenyum senang. Ia benar-benar tidak menyangka jika refreshing yang biasa-biasa saja membuat gadis itu bahagia.
"Fotoin gue dong," kata Titania.
Alvaro mengambil ponselnya dan Titania melepaskan pegangan tangannya. "Hati-hati ya, jangan sampai terpeleset. Nggak bawa baju ganti soalnya," kata Alvaro memperingatinya.
Alvaro memotret Titania sekali, gadis itu malu-malu karena di sini sangat ramai membuat Alvaro terkekeh dengan tingkah gadis itu. "Hadap sana ya, aku mau jadi fotografer handal."
Titania mengangguk dan mendengus kecil kemudian menuruti perintah Alvaro dan membelakangi Alvaro yang tengah siap dengan kameranya.
Beberapa kali ia memotret dan Titania pun beberapa kali berpose cantik kemudian gadis itu merasa lelah berfoto sendiri dan mengajak Alvaro untuk berfoto.
Alvaro yang bingung untuk dirinya berfoto bersama Titania, di sisi lain gadis itu menginginkan mereka berfoto full body. Sementara mereka ke sana hanya berdua dan tidak mengajak teman.
"Minta foto sama siapa?"
"Taruh di batu itu," kata Titania menunjuk batu yang tingginya hampir sama dengan gadis mungil itu. Alvaro mengangguk dan memposisikan ponselnya agar tidak jatuh ke bawah.
"Kalau kecebur gimana?"
"Risiko kamu dong," kata Titania membuat Alvaro tersenyum. Titania menjadikan ponsel Alvaro sebagai taruhan, jika jatuh ya sudah itu risiko Alvaro.
Titania jahat? Tidak, tetapi Alvaro lah yang sangat menyayangi dirinya.
"Sini gendong."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Troublemaker
Teen Fiction- Karena hanya sampah yang mau menerima sampah - *** Disayangi oleh orang yang disukai bukankah hal yang menyenangkan? Lalu, bagaimana jika dibenci oleh orang yang disukai? Bahkan, sampai bunuh diri dan hampir mati saja dia tidak peduli. Bagaimana...