Chapter 5

11.2K 980 17
                                    

Usapan lembut di kepalanya mengusik tidur lelapnya.

Ia membuka matanya perlahan. Namun ia langsung menutup kembali matanya dan mengerutkan keningnya saat di rasa pusing disana.

"Sayang.. udah bangun hmm?" Itu suara sang ibu.

Dan ia memilih tidak menjawab apa-apa dan hanya menatap sang ibu dan memfokuskan pandangannya.

Sang ibu belum berani menanyakan apapun perihal apa yang terjadi padanya hingga sampai masuk rumah sakit seperti ini.

Ia hanya menerima telepon dari Kevi dengan suara sedikit panik mengatakan bahwa Sagara ia temukan pingsan dengan lengan kiri yang mengeluarkan banyak darah.

Tentunya setelah mendapat kabar itu ia dan sang suami langsung pulang lagi meskipun baru beberapa jam sampai.

Mendengar Kevi yang hampir tidak pernah se-panik itu membuat dirinya tentu dengan segera kembali pulang.

Takut-takut hal-hal buruk besar telah terjadi di rumah.

Ia sampai saat ini belum tau penyebab Sagara sampai terluka.

Namun ia tau sedari dulu jika Sagara memang memiliki hemofilia yang bisa membahayakan dirinya kapan saja.

"Ma..ma?" Ucapnya dengan suara serak khas bangun tidur.

"Iya sayang, kenapa? Sakit? Pusing?" Ucapnya dengan lembut, berusaha agar tetap tenang.

Tak ada jawaban apapun yang sang ibu terima, Sagara hanya menatap sang ibu lekat- lekat.

Pada detik kesekian Sagara menangis tanpa suara dengan pandangan yang tak sedikitpun bergeser dari sang ibu.

Sang ibu yang melihatnya pun panik saat tiba-tiba anak itu meneteskan air matanya dengan deras tanpa suara.

"Pusing banget ya?" Ucapnya sambil mengusap air mata yang terus keluar tersebut.

"Bentar ya, Mama panggil dokter dulu,"

Sang ibu hendak pergi sebelum suara sang anak terdengar ditelinganya.

"Mama.. pasti capek ya? Aku pasti ganggu Mama sama Papa yang lagi di luar.." Ia meraup udara dalam-dalam setelah sesak ia rasa.

Ia sungguh merasa bersalah sudah merepotkan keluarga angkatnya.

"Engga sayang--"

"Mama juga jauh-jauh pulang lagi pasti gara-gara aku ya? Mama maaf.."

Sang ibu menggelengkan kepalanya pelan sambil mengusap kepala anak itu dengan penuh kasih sayang.

Ia sudah sangat faham dengan Sagara yang memiliki kepribadian seperti ini sejak ia pertama kali bertemu.

Sejak pertama ia bertemu, Sagara sering menyalahkan diri sendiri atas apa yang bahkan tidak ia kehendaki.

Ia juga tau kalau kesehatan mental Sagara itu sedikit terganggu. Pertama kali ia mengetahui itu ketika Sagara mengalami serangan panik saat melihat sebuah ikat pinggang.

Hal itu ia ketahui saat sedang membereskan ikat pinggang suaminya dan Sagara seolah-olah terkejut dan tiba-tiba mundur ketakutan dan terus mengatakan maaf berkali-kali.

Sejak hari itu ia tau kalau hidup Sagara memang sesulit itu.

Bahkan sampai sekarang anak itu masih dihantui oleh bayangan masalalu miliknya.

Anak itu bangun dengan bersusah payah sambil dibantu dengan sang ibu disisinya, lalu anak itu memeluk erat sang ibu dengan tangisan yang belum berhenti sejak tadi.

"Stt.. gapapa demi anak Mama apa sih yang engga bisa? Udah ya jangan nangis." Hanya itu yang bisa ia katakan sambil mengusap punggung kecil milik Sagara.

Tak bisa dipungkiri bahwa ia juga merasa sedih melihat Sagara seperti ini.

***

Sang suami masuk bersama dengan Kevi dibelakangnya.

"Sttt.." bisik sang istri sambil berisyarat meletakan satu telunjuk di depan bibirnya menandakan bahwa jangan berisik.

"Kenapa?" Ucap sang suami refleks ikut memelankan suaranya.

Dilihatnya Sagara yang tertidur pulas di pelukan sang ibu yang terduduk di pinggir ranjang sejak tadi.

"Mas.. bantuin bentar."

Dengan sigap sang suami membantu sang istri menidurkan kembali Sagara yang tertidur pulas itu.

Mereka tersenyum kecil, saat melihat wajah Sagara saat tertidur. Begitu lucu seperti bayi pikir mereka, walaupun masih terlihat jejak air mata disana.

Kevi hanya menyaksikan momen tersebut tanpa ekspresi, rasanya ia bukan siapa-siapa disini.

"Ekhm." Ia mengalihkan perhatian kedua orangtuanya itu.

Lalu mereka duduk di sofa yang memang disediakan disana.

"Kevi udah makan belum sayang?" Tanya sang ibu.

"Udah."

"Kalo gitu, kamu pulang gih sama Papa istirahat di rumah. Kamu pasti capek dari malem belom tidur." Ucap sang ibu dengan memegang tangan sang anak.

"Mama juga harus istirahat." jawabnya singkat.

"Iya nanti Mama istirahat."

"Engga, sekarang Mama pulang. Terus istirahat." Tegasnya.

"Enggak bisa gitu sayang, kalo Mama pulang Sagara siapa yang jagain?"

"Ditinggal sebentar gapapa kali mah? Mama gak boleh sakit cuma demi ngurusin anak itu!"

"Kev." ucap sang ayah tanda tak suka dengan nada bicara anaknya tersebut.

"Pelanin dikit suaranya, kamu gak liat dia lagi tidur? Lagi pula kamu gak pantes bicara kaya gitu ke Mama kamu." Ucap sang Ayah pelan namun tak meninggalkan kesan tegas khas kepala keluarga miliknya.

"Cih, terserah. Urusin aja tuh anak kesayangan. Gak usah pulang sekalian!" Ucapnya setengah berteriak sambil membanting pintu penuh amarah.

Sang ibu tampak begitu kaget dengan sikap Kevi yang seperti itu.

Sebenci itu ia kepada Sagara.

"Kevi! Tunggu!" Ucap sang ibu mengejar sang anak dengan sedikit terburu-buru disusul sang suami yang ikut mengejar anak itu.

Tanpa tau dibalik pejam nya, ia berusaha mati-matian menahan tangisnya dengan cara menggigit bibir bagian dalam miliknya sampai terasa bahwa darah telah keluar dari sana.

Ya. Dia mendengar semuanya sedari awal suara Kevi meninggi.

Ia berusaha tetap diam agar semuanya tidak semakin parah. Dia hanya harus berpura-pura tidak tahu apa-apa saja agar semuanya kembali baik-baik saja seperti semula.

Namun jika harus memilih. Tentunya ia akan memilih tidak tahu apa-apa saja.

Ia menyesal telah mengetahui apa yang seharusnya tidak perlu ia ketahui.

Rasanya memang benar-benar memuakkan.

"Ini semua emang salah gue lahir ke dunia ini.." Ucapnya pelan kepada udara kosong disekitarnya.















To be continued

A/n: revisi tiap hari di update 2/3 chap tiap hariii

Sagara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang