Rasanya beban di bahunya sedikit terangkat saat melihat anak itu mulai memasukan beberapa suap makanan ke mulutnya.
Rasanya lega sekali, setidaknya keadaannya itu tidak seburuk kemarin.
Namun raut wajahnya berubah ketika semakin memerhatikan wajah anak itu yang terlihat terpaksa terus menyuapkan makanan itu ke mulutnya.
"Hhh.. udah dulu aja, segitu juga udah lumayan," Ucapnya sambil mengambil mangkuk bubur itu kemudian memberikan segelas air kepadanya.
"Lu..udah makan?" Tanyanya canggung.
Kevi melirik sebentar sebelum mengalihkan kembali pandangannya.
"Hmm."
"Kevi gua mau minta maaf," Ujarnya
Kevi mengernyitkan dahinya,"Buat?"
"Semuanya. Gua gak seharusnya kaya gini, gua udah nyusahin lo padahal lo lebih berhak merasa kehilangan dibanding gua. Gua minta maaf udah bersikap egois, gua.." Ia menghela nafasnya saat rasa sesak terasa menghimpit dadanya.
"G-gua gak seharusnya rebut waktu punya lo waktu itu.."
Kevi hanya terdiam sambil menatap kosong lantai putih yang menjadi pijakannya saat ini.
Ia memegang ujung bajunya dengan erat.
Sejujurnya ada rasa sakit tak kasat mata yang menjalar di hatinya, bahwa yang dikatakan Sagara memang benar adanya.
Bahwa ia memang selalu menyesali setiap waktu yang ia anggap telah dicuri darinya, namun sekarang ia tidak tau harus menyalakan siapa, karena jelas itu bukan salah Sagara ataupun kedua orangtuanya, bukan pula salahnya, maka yang ia lakukan hanyalah berusaha meredam emosi yang ada.
"Maaf.."
Dengan langkah lebarnya, Kevi melangkah pergi dengan perasaan bercampur miliknya.
Meninggalkan Sagara dengan sejuta pikiran jeleknya.
....
Minggu pagi Sagara sudah bisa kembali pulang menuju rumahnya, meskipun dengan sedikit paksaan dengan alasan ia bosan.
Padahal itu hanya akal-akalan dirinya yang sudah cukup sekali merasa menjadi beban.
Dilihat dari wajah Kevi yang memang terlihat kelelahan. Bagaimana tidak? Ia rasa Kevi tidak sekalipun istirahat setelah pemakaman kedua orangtuanya, ditambah lagi harus mengurusi dirinya.
Total 4 hari ia berada di rumah sakit, Kevi tak pernah absen sehari pun. Ia bahkan tidak pernah melihat kakaknya itu tertidur dengan tenang.
Maka dari itu, ia memaksa ingin pulang karena mau bagaimanapun ia harus menjadi kuat. Setidaknya didepan Kevi agar tidak terus menerus membuatnya kerepotan.
"Lo tidur aja. Gausah kemana-mana, gua mau keluar bentar." Ucapnya sambil membantu menyelimuti Sagara disana.
Hanya anggukan pelan yang ia isyaratkan, karena sedari awal ia memang tidak pernah pandai menemukan pembicaraan.
Sepeninggalan Kevi, ia hanya diam. Menatap kosong langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos.
Kemudian pandangannya beralih pada bingkai foto yang memang selalu ia simpan di sana.
Disana, terlihat potret mereka berempat ketika berlibur disebuah taman hiburan ketika umurnya masih sepuluh tahun.
Setetes demi setetes air mata turun menuju pipi tirusnya, ia tidak menyangka bahwa ditinggalkan oleh orang yang ia sayang akan sesakit ini rasanya.
Ia kira semuanya perlahan akan kembali baik-baik saja, nyatanya semakin lama ia berusaha pura-pura lupa, semakin dalam pula rasa sakitnya.
"Ma.. Pa.. baik-baik disana, makasih udah bantu Sagara sampai sekarang,"
"Saga kangen Mama sama Papa.." Ia berkata sambil mengusap air matanya.
"Ma.. Kenapa harus pergi.. aku sama Kevi gak mau ditinggal.."
Tangisnya berlanjut lumayan lama sambil terus bergumam memeluk bingkai fotonya, berharap mereka benar-benar bisa mendengarnya disana.
Kemudian ia mengusap wajahnya kasar, sadar kalau ia sudah terlalu lama menangis sampai membuat matanya membengkak.
Dengan cepat ia pergi menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya meskipun jejak air matanya jelas masih terlihat.
Ia memeluk kembali bingkai foto ia dan keluarganya, sampai akhirnya ia tanpa sadar telah menutup matanya karena kelelahan akibat terus berfikir dan menangis.
Kevi mengusap sedikit air matanya ketika melihat anak itu tertidur pulas dengan memeluk satu-satunya foto keluarga miliknya yang dimana ia juga ada disana.
Melihat hidung merah dan bekas air mata disana, Kevi tidak bodoh untuk mengartikan kalau anak itu memang menangis sampai ketiduran.
Ia juga ingin mengeluarkan emosinya, namun melihat keadaan Sagara, ia tidak bisa seenaknya dengan egonya.
Ia takut membuat Sagara semakin merasa bersalah atas semuanya. Ia tau betul Sagara memang selalu seperti itu.
"Lain kali kalo mau nangis, nangis aja gausah malu. Nangis depan gua. Kita nangis sama-sama." Ucapnya, walaupun sebenarnya ia tidak yakin Sagara mendengarnya atau tidak.
To be continued 🤸
KAMU SEDANG MEMBACA
Sagara
Teen Fiction"I hate my self, but i don't want to be someone else." He said. ⚠️ BUKAN CERITA BOYS LOVE/BL.⚠️ BROTHERSHIP SAMA BL ITU BEDA YA GUYS😭 ⚠️ Jangan plagiat sekalipun cerita ini gak sebagus itu untuk di apresiasi. Mohon pengertiannya, kita bisa sama sa...