Chapter 37

5.1K 527 45
                                    

"Cepetan dong Ndra, takutnya kaya kemaren ketahuan lagi!" Ucapnya sambil melirik sekitar.

Lelaki yang bernama Indra itu dengan cepat ia memasukan Sagara kedalam mobil dengan posisi terlentang di bangku belakang dengan menjadikan paha wanita itu sebagai bantalan.

Indra merupakan seorang dokter, namun ia sudah cukup lama melakukan operasi ilegal demi uang.

"Kok disini?"

"Kalo di bagasi gak akan cukup. Anak ini terlalu tinggi. Pengap juga, takutnya nanti malah mengganggu sistem kerja organ-organya. Cari aman saja." Jawabnya dengan tergesa-gesa.

Kemudian ia melemparkan jaketnya, "Tutupin pake itu, kita langsung berangkat  aja."

"Duhh kenapa harus ada pemeriksaan pengendara mendadak sih? Ini gimana dong Dra? Di depan ada polisi." Ujar si wanita dengan panik.

"Tenang.."

"Tenang-tenang,gimana bisa? Yang ada langsung masuk penjara."

"Permisi Pak, boleh turunkan dulu kaca mobilnya?" Ucap seorang polisi dengan mengetuk kaca mobil.

Setelah dibuka, si polisi melirik sekitar kemudian menatap curiga ke sekitar.

"Pak?! Tolong ya Pak, anak saya mau di bawa ke rumah sakit. Tolong beri jalan ya Pak?" Ucap si dokter dengan memasang wajah panik disana.

Si polisi melirik sekitar kemudian menatap curiga ke sekitar, ia melirik Sagara dengan darah yang mengucur disana.

Anak itu tampak ingin mengucapkan sesuatu.

"T-tolong.." Ucapnya tanpa suara sampai tiba-tiba si wanita mulai menangis histeris.

"Mas cepetan, darahnya banyak banget ini gimana ya ampun.." Sang ibu berucap seolah-olah ia benar-benar khawatir.

"Boleh lihat SIM-nya?"

"Bapak bercanda?! Anak saya lagi sakit, mana sempat bawa SIM sebelum pergi."

"Mas!!

"Yasudah Pak, Bapak akan kami beri jalan. Semoga anaknya baik-baik saja Pak." Ucapnya.

"Terimakasih Pak."

Mereka lolos begitu saja dengan puas.

Sagara menangis tanpa suara dengan memandang wajah ibunya.

"Apa Sagara? Kamu sebaiknya diam. Tidak usah bertingkah. Tidak ada gunanya."

......

"Hah? Maksudnya?"

"Iye Vi, Gua tadi gak bareng sama Jean apalagi Sagara. Coba tanya Jeje." Ucap Alvi.

"Yaudah thanks."

Kevi memutus telepon segera, kemudian ia langsung menelpon Jean dengan tergesa-gesa.

"Sagara dimana?"

"Lah?"

"Sagara tadi udah pulang kok, gua sendiri yang tungguin dia sampe masuk taksi." Lanjut Jean.

Kevi langsung menutup telepon dan bergegas menuju motornya.

Saat sudah di rumah, ia malah tidak menemukan Sagara disana.

"Kemana sih?! Hape aja mati!" Teriaknya dan kemudian melemparkan handphone miliknya setelah berkali-kali menelpon Sagara yang sama sekali tidak mendapat  jawaban disana.

....

Mereka menuju belakang rumah sakit lewat jalan yang hanya diketahui oleh Indra saja. Karena jalan itu akan langsung menuju kepada ruangan khusus miliknya. Tempat dia melakukan operasi secara ilegal.

"Indra?"

"Ya?" Jawabnya sambil menyiapkan beberapa peralatan untuk digunakannya.

"Kok, darahnya gak berhenti juga ya? Padahal udah cukup lama."

"Kenapa, khawatir?"

"Saya lebih khawatir sama Dion, takutnya ginjal yang dia donorkan malah membuat Dion dalam bahaya."

"Percayakan semuanya sama saya."

"Saya pegang kata-kata kamu."

Tubuhnya menegang saat tangan dingin tanpa tenaga itu menyentuh tangannya.

"M-ma.."

Tanpa sadar ia menahan napasnya disana sebelum akhirnya ia menghempaskan tangan itu.

"Urus baik-baik. Kalau bisa jangan sampai mati, setidaknya agar sebagai ibu kandung. Aku masih memiliki rasa kasihan terhadapnya."

"Saya sarankan jangan kemana-mana, barangkali ingin melihat prosesnya?"

"Nanti, setelah melihat keadaan Dion. Baru kembali kesini."

Setelah wanita itu pergi, Indra menghampiri Sagara.

"Sebelumnya saya minta maaf, ini bakalan sakit. Karena disini cuma ada alat sealakadarnya. Berdoa saja, semoga semuanya lancar." Ucapnya pelan saat melihat anak itu berkali-kali menggelengkan kepalanya disertai dengan air mata yang sedari tadi tidak berhenti mengalir.

"Kita mulai sekarang ya?"

Sagara tidak tahu pasti, namun orang itu memasukan sesuatu kedalam infus yang sebelumnya sudah dipasang di punggung tangannya.

Ia mau berontak, namun sadar tak ada yang bisa ia perbuat, tangan dan kakinya  sudah diikat kencang di antara ranjang sehingga membuatnya tidak bisa bergerak.

"Saya hitung dari lima, satu.. dua.. tiga.."

Ia memejamkan matanya dengan tenang, tak ada yang bisa dilakukan selain pasrah kepada Tuhan.

Berharap agar ada seseorang yang mau membantu dirinya, namun jika jalan hidupnya memang harus seperti ini. Maka mau tidak mau ia akan menerimanya.

Perihal ibunya, sulit rasanya memaafkan siapa saja yang telah berlaku jahat padanya, namun ia berharap setidaknya ia bisa berguna di sisa waktunya.

Setidaknya ia bisa membantu saudaranya, Dion. Agar bisa tetap hidup. Walaupun ia tahu, ia harus siap dengan konsekuensi yang akan ia hadapi nanti.

Antara melanjutkan hidup karena masih diberi kesempatan oleh Tuhan, atau pergi dengan tenang tanpa adanya rasa dendam.

Pada akhirnya ia berpikir seperti itu dan memilih ikhlas hanya untuk menyelamatkan saudaranya itu.

Takut. Tentu saja, Sagara juga manusia.

Namun tak ada yang bisa ia perbuat selain menerima apa yang sudah Tuhan gariskan untuknya.

....

"Udah?"

"Udah, tapi bencana besar buat anak malang ini. Darahnya gak mau berhenti setelah lukanya di jahit rapi."

"Terus gimana?!"

"Kalo mau dia selamat, dia harus segera mendapatkan perawatan intensif. Kalo enggak, biarkan saja dia mati perlahan karena kehilangan darahnya sendiri."













To be continued

Sagara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang