Chapter 21

7.1K 633 15
                                    

"Lahh, kok mereka ga ada ya?" Tanya Alvi kebingungan saat melihat ruangan yang tadinya diisi oleh Sagara kini sedang dibereskan oleh seorang perawat disana.

"Permisi, ini pasien yang tadi disini udah pulang atau gimana ya?" Ucapnya kepada perawat yang tengah mengganti seprai disana.

"Ohhh, pasien yang tadi disini baru aja pulang Dek." Jawabnya ramah.

"Eumm, yaudah makasih ya Sus." Ujar Alvi yang juga di angguki oleh Jean di sisinya.

Kemudian mereka memutuskan untuk pulang karena dirasa hari sudah malam.

"Lo sih pake acara makan dulu. Keburu balik kan mereka." Ucap Jean menyalahkan sambil menyikut pinggang Alvi pelan.

"Ya gua gak tau anjir mereka bakalan cepet balik."

•••

Sementara Kevi dan Sagara masing-masing tengah menikmati semangkuk mie instan rasa soto disana.

Bagi Sagara mie instan rasa soto mie adalah yang paling disukainya sepanjang masa. Walaupun sebenarnya alasan dibalik mereka yang memutuskan untuk memakan mie ialah karena tak ada makanan lain termasuk nasi dirumahnya.

Awalnya memang Kevi berinisiatif untuk memesan makanan secara online tanpa harus ribet pergi keluar, namun Sagara justru malah lebih dulu memasak dua bungkus mie dengan wajah cerahnya.

Jujur Kevi termasuk jarang memakan mie instan atau semacamnya, karena menurutnya itu merepotkan.

Ia lebih suka menyantap makanan yang memang sudah tersedia didepan mata tanpa harus melewati proses pembuatannya.

"Lu ngapain?" Tanya Kevi basa basi.

"Bego! Buta apa gimana? Dia masak mie lah anjir kenapa harus nanya gitu?" Pikirnya setengah mengumpati diri sendiri.

"Hah? Ini gua lagi masak mie, laper. Berhubung lu juga belom makan, jadi gua masaknya dua. Gapapa lah ya makan mie doang?" Ucapnya sambil masih sibuk menuangkan bumbu mie kedalam mangkuk.

Bisa-bisanya anak itu mendapatkan kekuatan penuh kembali seperti tidak terjadi apa-apa. Padahal sebelumnya ia terlihat sangat tidak bertenaga.

"Ohh." Ia mengangguk sambil berjalan menuju meja makan.

Kevi hanya memerhatikan Sagara yang masih sibuk dengan mie nya.

Sebelumnya saat di rumah sakit Kevi mendapatkan reaksi tak terduga dari Sagara, ia kira anak itu akan panik seperti sebelumnya, namun reaksinya justru biasa saja.

Bahkan anak itu dengan santai mengajaknya pulang tanpa memaksa.

"Nih, mie nya udah jadi." Ucap Sagara sambil menyodorkan semangkuk mie kedepannya. Membuat lamunannya terhenti begitu saja.

"Thanks."

"Santai." Ucapnya yang kini sibuk meniup kuah sotonya.

"Bahhh enak banget kan makan mie dingin-dingin gini?" Ia berekspresi seolah memang benar-benar rasanya senikmat itu.

"Hmm.." Jawab Kevi sebagai tanda bahwa ia setuju terhadap Sagara.

.....

Paginya saat di sekolah tentu membuat dirinya merasa kesal dengan pertanyaan berulang yang sekarang terhitung sebanyak hampir 22 kali yang dilontarkan oleh Jean dan juga Alvi.

"Ga? Kemaren beneran gapapa?" Tanya Alvi yang duduk di pinggir Sagara sambil mengunyah makanan miliknya.

Sagara melirik kearah Kevi tidak tau untuk apa.

"Enggak ih asli, kalo kenapa-kenapa gua gak bakalan disini. Sumpah berapa kali lagi kudu gua bilang." Ucapnya kesal sampai tak sadar ia kini tengah memanyunkan bibirnya.

Kevi yang duduk di depannya tersenyum tipis.

"Udah ya, gua ke kelas duluan." Ujar Kevi yang kemudian pergi begitu saja.

"Lah si Kevi, tau nih dia mau gua tanya-tanya malah pergi." Jean berkata.

"Iya woy, sumpah lu berdua jangan-jangan ada rahasia nih. Ngaku lu pada!" Ucap Alvi sewot.

"Gak asik ah maennya rahasia-rahasian ah. Selama ini nganggap gua apa?"

Sagara bergidik ngeri saat Alvi berucap seperti itu.

"Gaoaoa sumpah gaoaoa." Ucap Jean

"Malu banget please." Sagara menutup wajahnya saat orang-orang yang berada di kantin memerhatikan mereka.

Sejujurnya Alvi dan Jean memang tidak seberani itu untuk bertanya kenapa, karena Sagara juga pasti punya alasan tersendiri untuk tidak memberi tau sembarang orang tentang kehidupannya.

Jadi yang mereka hanya lakukan adalah menunggu Sagara memberitahukannya sendiri saja tanpa adanya desakan yang hanya akan membuat Sagara tidak nyaman.

"Nanti sore kita maen ya Ga, mau numpang nonton." Ucap Alvi.

"Dih, tv dirumah lu pada di colong apa gimana?" Tanya Sagara.

"Hahaha, nonton Conjuring 3 lah hayuk." Ujar Jean bersemangat.

"Dihh setan mulu di dalem pala lo!" Alvi menyangkal tanda tidak setuju dengan rencana Jean.

"Nonton Fast and furious 9 kek, apa kek. Gedek banget gua sama Jean, setan mulu nih pantes kelakuannya juga mirip-mirip." Oceh Alvi kesal.

"Heh! Anjing~ ini anak anjing comel~." Jean menahan emosinya sambil memegang botol aqua yang kini telah rusak akibat genggamannya

Sagara tertawa, "Aduh, ada-ada aja ini.." Ucapnya.

"Guys, toilet dulu ya." Ucapnya yang langsung diangguki oleh keduanya.

......

"Heh! Bersihin sepatu gua." Ucap seseorang dari dalam toilet yang terdengar oleh Sagara.

"Cih." Decih Sagara menanggapi seorang perundung yang ada di sekolahnya.

"Lu bisa gak sih kerja yang bener?!" Teriaknya kemudian.

Awalnya Sagara memang tidak mau berurusan dengan siapapun, namun saat terdengar pukulan diluar toilet. Ia refleks keluar bermaksud untuk membantu.

"Lo gapapa?" Tanyanya kepada seorang lelaki yang tidak ia kenali yang kemungkinan adalah adik kelasnya.

Anak itu mengangguk pelan.

"Lo mau gua laporin atau gimana?.." Tcap Sagara sambil menatap seorang anak kelas dua belas yang baru saja merundung adik kelas itu.

Sang kakak kelas tersenyum miring, "Aduh, takut nih di laporin." Ucapnya berlagak seolah ia benar-benar takut.

"Gausah berisik. Sagara. Gua tau lo, hidup sebagai anak pungut aja bangga." Ucapnya membuat Sagara terdiam.

"Udah pungut, sekarang juga nempel terus sama anak kandung buat ambil hartanya ya? Kan sekarang orang tuanya udah gak ada." Lanjutnya lagi sambil tersenyum saat merasa Sagara termakan oleh ucapannya.

"Gak ada hubungannya, lo yang ngebully orang sama gua sebagai anak pungut." Ujar Sagara pelan namun terdengar jelas olehnya.

Sagara menghirup nafas dalam-dalam berusaha untuk lebih tenang, "Gua masih jauh lebih baik sebagai anak pungut dibandingin sama lo yang kerjanya cuma ngebully orang." Lanjutnya.

"Rendahan banget. Lebih rendah dari tahta yang namanya sampah." Ucapnya kini membantu adik kelas itu untuk pergi dari sana meninggalkan si kakak kelas yang mengepalkan tangannya.

"Sagara.. Sagara..lumayan." Ucapnya sambil tersenyum tipis.




















To be continued



Sagara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang