37. Deru, Derai, Deras

489 59 12
                                    

Baru saja ingin menyelesaikan langkahku, badai air itu datang dengan kencangnya. Bukan main, Curah Hujan di New York memang sangat sangat seram. Baru beberapa detik aku dibawahnya, bajuku telah basah sempurna. Badan ku terasa ingin terombang ambing dengan bebas. Mau bagaimana lagi? Jika diteruskan, bisa bisa aku dan sandy demam mendadak. Apalagi, besok adalah test pertamaku untuk masuk Kedunia ku yang baru.

"san, kita neduh aja yaa?"

"haa? Apaaann? ngga dengerr!!"

"KITA NEDUH DULUUUU YAAA!!"

"YOAI"

Masih sesantai itukah dia? Tak panik, tak risau, tapi malah meng 'yoai'.

"SAN"

"HAAA?"

"NGGA PAPAAA"

"UNTUNG DI NEGARA ORANG. KALO DI INDO BISA BISA TAK TIMPUK ANDA!"

"HEHEHE. UDAH AYOK"

Aku meraih tas belanjaan nya agar tak semakin basah. Aku dan sandy berjalan tanpa ada jarak. Aku yang sibuk memperhatikan jalan sembari memayungi nya dengan tas ku dan dia mengikuti arahku.

"rey"

"hem?"

"maaf yaa, tas kamu jadi basah."

"halah santai aja kali. Malahan, tas kamu tuh yang basah kuyup. Mana dalemnya ada buku lagi. Hadeh.."

"udahh lah, ntar bisa kering aku kasih depan kipas. Tapi, btw lu ngga dingin?"

"ha? n-nggaa. Biasa aja tuh. Kenapaa? Lu kedinginan?"

"sedikit sihh. Tapi ngga papa kok, Wajar. Udah biasa juga kalo kehujanan gini. Masalahnya, hujan di New York itu besar - besar. Ditambah lagi, kalo kelamaan diluar gini, bisa menggigil. Liat aja nanti, palingan 5 menit lagi lu kedinginan."

"yaa jangan gitu lah. Kalo lu kedinginan terus gue juga kedinginan kan ngga lucu! Gimana pulangnya nanti?"

"hemm, semoga ajaa"

Mau sampai kapan hujan ini mengguyur tanah? Sudah hampir setengah jam aku menunggu disini. Tapi, dimana suara sandy? Suara yang menggelegar itu tak ku dengar lagi.

"s-sa"

Aku mencoba memanggilnya sembari berbalik badan untuk memastikan dia baik baik saja.

"sannn, astaghfirullahh. Sann, bangun"

Ia terlelap menyandar pada gerbang pintu yang terkunci. Ia tampak tenang dengan posisi dan keadaan yang seperti ini. Badannya juga sudah dingin.

Memang tak bisa dipungkiri, apa yang ia katakan tadi, benar adanya. Sekarang lama kelamaan akupun merasakan apa yang ia rasakan. Tapi.. tidak! Aku tidak boleh lemah! Aku harus bisa membawanya pulang dengan selamat.

"sann.."

Aku menggoyangkan kedua tangannya dengan lembut.

"hem? Kenapa?"

Perlahan - lahan ia membuka dan membulatkan matanya menatapku. Tatapannya dingin dan dalam.

"kamu tu, tidur? Aku kira kamu kenapa - kenapaa Astagaaa"

"ngga, aku ngga kenapa - kenapa kok. Aku cuma merem aja sambil senderan. Habisnya dingin. Mana hujannya juga ngga berhenti - berhenti lagi"

"gimana yah. Apa Kita nekat aja biar bisa langsung pulang? Kalo gini kan kita sama aja masuk angin tapi ngga bisa pulang. Cuma diem, duduk natap kadal lewat dijalan. Kamh Masih kuat jalan ngga san?"

Sendu untuk Sandy (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang