38. Prioritas

289 50 5
                                    

Kaki ku serasa ingin copot. Aku telah berada di depan rumahnya sekarang. Pintunya terkunci rapat. Dan kuncinya ada pada dirinya. Bagaimana cara aku mengambilnya? Aku tidak mau membuka tasnya atau menggeledah semua kantongnya. Aku berpikir keras untuk itu.

Baru saja aku sadar, jika ia mengenakan penjepit rambut yang bisa aku gunakan untuk membuka pintunya. Aku membaringkannya di tempat duduk miliknya. Agar aku lebih leluasa untuk membuka pintu itu.

Pintunya terbuka lebar. Sebenarnya, aku sendiri tidak enak jika harus melangkah ke dalam rumahnya dengan keadaan seperti ini. Tapi, ini demi kebaikannya. Nanti Setelah aku membaringkannya, aku langsung pulang saja.

***

Aku membaringkannya pada sofa besar dengan alas jaketku. Sebenarnya aku ingin mengambilkannya selimut. Tapi Aku tidak mau terlalu dalam menyusuri rumahnya ini.

Ia tampak pucat. Ia juga sangat kedinginan. Aku mencoba menyalakan penghangat ruangan yang ia punya disana.

Aku juga menyiapkan segelas air yang berasal dari dispenser dekat sofanya. Air itu panas. Sangat panas. Jika ia nanti sudah terbangun, air itu bisa ia minum tanpa ia harus berjalan mengambilnya.

Sebelum aku pergi, aku ingin membangunkannya terlebih dahulu. Aku ingin memastikan jika ia baik baik saja jika aku pergi nanti.

Aku mensejajarkan pandanganku padanya dengan topangan lututku.

"san.. bangun san.."

Aku mengelus pipinya dengan lembut.
Setelah berkali kali aku memanggilnya, ia terbangun dengan mata yang sayu. Aku semakin tak tega menatapnya sekarang.

"san.. kamu kenapaa? kamu sakit? atau, masih kedinginan??"

Ia menggeleng meyakinkanku. ia melihat sekitar dengan penuh keheranan.

"kamu.. gimana caranya buka pintu rumah aku?.."

"eumm, i-ituu aku pake penjepit rambut kamu biar bisa b-buka pintunya"

Sekarang aku merasa gugup didekatnya. Ia seperti orang mabuk saja. Berbicara dengan nada orang ngelantur, matanya sayu dan lelah, dan sering mencoba memejamkan matanya.

"ohh. Ma-kasi udah bawa aku pulang. Maaf kalo a-ku ngerepotin kamu rey"

"ngga papa kok. Yaudah, aku pulang dulu yah. Jangan lupa air panas nya diminum. Keburu dingin."

"i-iyaa. Makasi"

"e-emm, assalamuallaikum"

"waalaikumsalam"

Mengapa suasana menjadi kaku dan canggung seperti ini? karena itulah aku buru buru untuk pulang, agar suasana tidak semakin tegang dan gugup. Percayalah, berada di suasana yang canggung adalah posisi paling menyebalkan!

***

Hari ini, ia masih sakit setelah kejadian kemarin. Saat aku datang kerumahnya, ia telah terkujur lemas tak berdaya. Aku panik, dan mengurungkan niatku untuk test kerja hari ini.

Memang pekerjaan itu penting, tetapi seseorang yang hidup sebatang kara dan dengan kondisi yang tak berdaya seperti ini lebih penting dari urusan ku sediri.

Sendu untuk Sandy (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang