10. Pertama dan Terakhir

108 11 0
                                    

"Dan dijadikanlah penyejuk hatiku dalam ibadah shalat." (HR. An-Nasa'i no. 3391 dan Ahmad 3: 128, shahih)

***

Haura tak menemukan Ega. Pria itu tak lagi terlihat di depan ruangan Viola. Kursi tunggu yang menjadi saksi pertemuan mereka tampak kosong tak berpenghuni. Haura gusar. Sepertinya, Ega memang sudah pergi.

"Dia tak ada di sini, Ra. Kita balik ke kamar lagi, ya?" Lea menawarkan.

Haura tak menjawab.

"Lagi pula, sepertinya bukan Ega pelakunya."

"Mbak tahu dari mana?"

"Uhm, hanya menduga," balas Lea gugup. Gadis itu mengalihkan pandang saat Haura menatapnya penuh tanya.

Haura curiga. Ekspresi Lea begitu kentara tengah menyembunyikan sesuatu, tetapi Haura memutuskan tak bertanya lebih lanjut. Ia menurut saja saat Lea membawanya pergi dari sana.

Tiba-tiba, suara serupa benda jatuh menyapa pendengaran mereka, membuat mereka refleks menoleh ke belakang.

Viola terjatuh di depan pintu kamarnya. Ia merintih menahan nyeri. Susah payah gadis itu mencoba berdiri lagi dengan berpegangan pada tiang infus. Lantas uluran tangan dari seseorang membuat rintihannya terhenti. Kepalanya mendongak, menemukan dua perempuan asing yang menatapnya penuh iba.

"Ayo, biar kubantu."

Viola tersentak. Ia menerima uluran tangan dari Lea. Senyumnya mengembang setelah berhasil berdiri. "Terima kasih," ujarnya tulus. Raut cerianya kembali. Di kedua pipinya, ada lesung pipi yang tercetak jelas, sama seperti lesung pipi Haura. Giginya yang gingsul membuat gadis itu semakin tampak manis.

"Kau baik-baik saja, Viola?"

"Ah, iya, aku baik-baik saja," balas Viola. Jemarinya menyelipkan beberapa helai anak rambut dengan anggun ke belakang telinga. Namun, senyumnya memudar ketika mengingat sesuatu yang janggal. Ia menatap perempuan yang tadi menanyakan keadaannya, mencoba mengenali wajah asing itu. "Kau mengetahui namaku?" tanya Viola ragu.

Haura terkekeh kecil. "Aku teman kakakmu. Aku sempat mendengarkan perbincangan Kak Ega tentangmu kemarin."

"Ah, begitu rupanya." Viola ikut terkekeh canggung.

"Kau mau ke mana tadi? Kenapa sendirian?"

"Aku hendak ke mushala rumah sakit. Memang sendiri karena ayah dan kakakku sibuk."

"Mau bersama ke sana? Aku juga harus ke mushala untuk salat Duhur," tawar Haura.

"Ayo!" Viola menyetujuinya tanpa ragu.

Ketiganya berjalan beriringan. Selama di perjalanan, sesekali mereka berbincang ringan tentang informasi pribadi seperti nama dan usia. Viola begitu senang mengetahui usia Haura sama dengannya. Katanya, sulit untuk menemukan teman yang sebaya selama di rumah sakit.

"Apa kau tak kepanasan memakai kerudung sepanjang itu?" Netra Viola memindai kerudung hitam sebatas pinggang yang Haura kenakan.

Pertanyaan itu membuat Haura terkejut sebetulnya. Gadis itu tersenyum lantas memainkan kain kerudungnya. "Tidak. Kain kerudungku berbahan adem. Lagi pula, aku sudah terbiasa."

Viola mengangguk paham. "Ngomong-ngomong, aku jarang sekali memakai kerudung, tetapi melihatmu memakainya, kurasa aku mulai tertarik."

"Sungguh? Aku bisa memberikanmu kerudungku. Sepertinya akan cocok jika dipakai olehmu."

"Aku akan menerimanya kalau kau tak keberatan."

Haura tertawa. "Tentu saja tak keberatan. Nanti akan kuambilkan," ujarnya ringan.

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang