Haura menyisir rambutnya yang panjang dan lurus. Dengan senyum tipis, Haura memandangi wajahnya di dalam cermin. Alis tebal, bola mata kecokelatan, hidung mungil, dan bibir tipisnya terpahat dengan sempurna. Lesung pipi tampak jelas kala ia tersenyum.
Haura memandangi sisir setelah selesai merapikan rambut. Ia tertegun. Ada banyak helai rambut yang tergulung di sela-sela sisir. Sebelumnya, rambutnya tak pernah rontok sebanyak ini. Haura risau. Ia meraba rambut dan memeriksanya untuk memastikan tak ada lagi yang rontok. Pandangannya nanar menyaksikan segenggam rambut terlepas dari kepalanya begitu saja. Haura tahu, setelah menjalani kemoterapi, merupakan hal wajar jika rambutnya rontok satu persatu. Lalu, pada akhirnya Haura akan tak memiliki rambut sama sekali.
"Tak apa, Haura, tak apa." Ia mencoba menghibur diri sendiri, berkata lirih pada bayangannya di cermin. Bibirnya gemetar kala memaksakan senyum. "Kenapa harus menangisi rambutmu? Bukankah semua milikmu hanyalah titipan dari Allah yang bisa sewaktu-waktu Dia ambil lagi?" bisiknya pelan, berharap hatinya tak berlebihan menangisi kehilangan. Lagi pula, kecantikan tubuh bukan sesuatu yang abadi. Ia akan pudar sewaktu-waktu lalu berakhir menjadi tanah kembali.
Haura tak meneruskan kegiatannya menyisir rambut. Ia memilih mengumpulkan rambut-rambut yang rontok itu, lantas menyisipkannya pada lembaran buku diary yang tergeletak di atas meja. Haura menghela napas panjang, mengenakan kerudung pemberian Ega kembali.
Semakin lama, bunyi rintik hujan terdengar semakin jelas. Haura bersandar pada bantal yang sudah ditata sedemikian rupa. Matanya mulai memejam tatkala suara air yang beradu dengan atap membuatnya mengantuk. Belum lelap ia tertidur, ketukan pintu membuat Haura terpaksa membuka mata kembali.
"Eh, aku mengganggumu, ya?" ujar seseorang yang baru saja memasuki ruangan Haura.
Bibir Haura membentuk senyum tipis. "Tidak, Suster," ujarnya lirih.
Aurelia membalas senyum. Wanita itu meraih bermacam obat yang harus Haura konsumsi sore ini dan menaruhnya di sisi Haura. Tak lupa, ia membawakan segelas air untuk Haura minum. "Kau tak bosan meminum obat tiap hari, 'kan?"
"Aku bosan," jawab Haura jujur. "Bosan sekali malah, tapi harus bagaimana lagi." Tangannya menerima sebutir obat dan gelas yang Aurelia sodorkan.
"Kau perlu menelan pahitnya obat untuk bertemu dengan manisnya kesembuhan. Jadi, bersabarlah," hibur Aurelia. "Kau sudah makan, 'kan?"
Haura menelan pil itu lalu meminum air dengan segera. "Sudah. Aku baru selesai makan." Matanya menunjuk piring kotor di atas meja sebagai isyarat.
"Baguslah. Aku senang nafsu makanmu kembali dengan cepat."
Aurelia menemani Haura selama gadis itu menghabiskan obat-obatannya. Ia memandang sekeliling ketika menyadari sesuatu. "Apa tak ada yang menemanimu sore ini?"
Pil terakhir telah Haura telan. Kepalanya menggeleng untuk menjawab pertanyaan Aurelia. "Lik Nur ada kepentingan dan Mbak Lea harus belajar untuk ujian."
Aurelia mengangguk mengerti. Ia bergerak cekatan merapikan obat-obatan sementara Haura kembali menyandarkan kepalanya di bantal. Tanpa sengaja, Aurelia melihat boneka beruang mungil di sebelah Haura. Sudut bibirnya terangkat. Ia masih ingat jelas gambaran kejadian saat ia membeli boneka itu bersama Ega. Menurutnya, kala itu adalah hal terindah yang ia lewati dengan pria pujaannya. Bagaimana tidak, sang penjaga toko bahkan sempat mengira bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
"Itu dari Ega, bukan?" tanya Aurelia untuk memastikan.
Mata Haura melirik boneka itu. Senyum manis pun tersungging. Diambilnya boneka itu dan dipeluknya dengan erat. "Benar. Kak Ega bilang bahwa Suster yang memilihkannya untukku. Terima kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...