"Tidaklah seorang muslim yang tertimpa gangguan berupa penyakit atau semacamnya, kecuali Allah akan menggugurkan bersama dengannya dosa-dosanya, sebagaimana pohon yang menggugurkan dedaunannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
***
Hal yang terakhir ia ingat adalah hujan yang menderas, petir yang menyambar, peluru yang menghunus bahu serta punggung, serta teriakan cemas seorang rekan.
Ega mengerjap menyadari di mana ia berada. Rasa sakit pada punggung membuatnya mengurungkan niat untuk bangkit. Ia meringis pelan, sedikit kesal pada diri sendiri atas kecerobohannya semalam.
Harusnya ia lebih teliti waktu itu.
"Hai, Ga, jangan memaksakan diri dulu. Punggungmu bisa semakin sakit kalau dipaksa bergerak."
Ega menoleh. Keningnya mengerut ketika seorang perawat masuk memeriksa kantung infus yang sudah mulai kosong. Suara itu, wajah itu, sepertinya Ega kenal.
"Aurelia?"
Perempuan itu bergeming. Wajahnya agak menegang. Hanya sesaat. Sebab perempuan itu segera memamerkan senyumnya. "Hai, ini aku, teman masa kecilmu yang cerewet dan lucu."
Pengakuan yang berhasil membuat Ega terperangah. Senyumnya mengembang tiga detik setelahnya. "Lia, saya senang kita dipertemukan kembali. Kau menjadi perawat sekarang? Hebat."
Aurelia terkekeh. Tangannya bergerak cekatan mengganti infus itu dengan yang baru. "Jujur aku benci dengan keadaan ini, Ga. Sudah lama aku menginginkan pertemuan kita, tapi kenapa kau menemuiku dengan keadaan penuh luka seperti itu?"
"Ini di luar kendali saya, Lia."
Skenario takdir memang tak terduga. Bertahun-tahun mereka berpisah, tepatnya setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Meninggalkan kenang, meninggalkan kisah. Dua insan yang bertahun-tahun mengukir cerita bersama itu terpaksa menghentikan kebersamaan yang terjalin. Kesibukan serta ketidaktahuan membuat mereka tak bisa bertemu sejak perpisahan sekolah.
Dulu, Aurelia pernah mencari keberadaan kakak kelasnya itu. Ia menanyai teman satu sekolahnya dulu, mencari alamat atau sekadar media sosial Ega. Namun, ia gagal. Yang ia temukan hanyalah sebuah rumah tua yang sempat ditinggali Ega. Sayangnya, saat ia kesana, Ega sudah tak lagi tinggal di rumah itu.
Mungkin, ini juga salah Aurelia karena tak serius dalam mencari Ega. Sebab ia dilanda kesibukan dalam pekerjaannya. Kesibukan yang akhirnya menghapus sosok Ega dalam ingatan Aurelia.
"Di mana kau selama ini, Ga? Apa tak pernah berpikir untuk mencariku?"
"Saya sibuk, Lia. Kau tahu pasti seperti apa pekerjaanku, bukan?"
"Aku pernah mencari keberadaanmu tapi gagal. Kau tak meninggalkan jejak. Pernah kucari namamu di media sosial tapi tak ada."
"Saya tak punya media sosial."
Aurelia menekuk bibir. "Menyebalkan."
Diam-diam Ega mengulum senyum, agak gemas dengan tingkah perempuan itu. Lihatlah, betapa lucunya Aurelia ketika mengomel dengan pandangan serta tangan yang fokus pada pekerjaannya.
Aurelia masihlah Aurelia-nya yang menggemaskan. Tak ada yang berubah dari tingkahnya selain lebih dewasa.
"Sayang sekali ini bukan waktu yang tepat untuk bernostalgia. Aku pergi dulu, banyak yang harus kukerjakan. Tetap disitu ya, Ga. Jangan bandel," pesan perempuan itu tegas.
"Siap, Suster Aurelia."
"Selamat beristirahat, Sertu Ega."
Ega tersenyum ketika perempuan itu menutup pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...