11. Gagal Menjaganya

97 10 0
                                    

"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan."

(QS. Al-'Ankabut 29: Ayat 57)

***

Bagi Ega, Viola adalah perempuan terkasih yang paling ia jaga. Adik kandung satu-satunya yang selalu setia menyambut dengan senyum manis setiap ia pulang bekerja. Gigi gingsul serta lesung pipi Viola adalah warisan dari Ibu yang telah meninggalkan mereka bertahun-tahun lalu. Ega sering sekali menatap lekat wajah cantik itu setiap merindukan Ibu. Rupa mereka yang hampir sama adalah alasan mengapa Viola selalu berhasil mengobati rindunya.

Viola itu cahaya di hidup Ega. Sosok yang paling setia menemaninya melewati hari-hari berat. Fisik Viola mungkin lemah, tapi jiwanya begitu kuat. Bahkan ketika ibu mereka tiada, Viola masih sanggup untuk memberikan kekuatan pada Ega di saat dirinya juga hancur.

Bukan tanpa alasan Ega selalu memanggil Viola dengan sebutan princess. Sebab, Viola adalah tuan putrinya, sedangkan ia adalah pangeran yang ditugaskan untuk menjaga tuan putri di istana imajinasi mereka.

Namun, kali ini, sang pangeran sepertinya gagal menjaga tuan putri. Tuan putrinya mengalami kecelakaan dan ia tak sempat mencegah.

Ega tak bisa berpikir jernih ketika mengendarai motor untuk mencari Viola. Ia tak peduli pada awan hitam yang menggantung di langit, bersiap untuk menumpahkan air hujan. Laju motornya yang sudah sangat cepat tak kunjung membuat Ega puas. Ia terus menambah kecepatan agar bisa segera menemukan adik kandung kesayangannya.

Ega menggeram saat jalan yang ia lalui macet. Matanya menatap awas pada segerombolan orang yang berkumpul di depan—menjadi penyebab kemacetan. Dengan dada sesak penuh kekhawatiran, Ega memarkirkan motor di depan toko, lalu berlari memecah kerumunan.

Napas Ega menderu. Matanya memerah melihat sebuah mobil yang telah rusak parah. Bagian depan mobil itu menabrak pohon besar sampai retak. Dari plat yang tertera, Ega tahu betul bahwa itu mobil milik keluarganya.

Ega gemetar. Kakinya yang melemas ia paksa untuk mendekat dengan cepat. Setiap orang yang menghalangi, ia singkirkan dengan kasar. Satu tetes air mata jatuh, tak peduli pada jati dirinya sebagai seorang tentara yang tangguh. Pria itu memberanikan diri untuk melihat wajah korban dari balik jendela.

Tangis Ega pecah. Keras, deras, menyatu dengan hujan yang memeluk jiwanya yang lara. Tak pernah terbayangkan di pikirannya bahwa ia akan menyaksikan Viola dalam kondisi segawat itu.

"Apa kalian tak bisa bertindak cepat?! Di mana ambulans? Dan kalian! Kenapa kalian hanya menonton saja?!"

Beberapa orang bergerak mundur, takut pada Ega yang mulai dikuasai emosi. Seorang bapak-bapak menepuk punggungnya untuk menenangkan. "Kami sudah panggil ambulance dan polisi. Kami juga sedang berusaha keras untuk mengevakuasi korban. Tolong bersabarlah."

Ega menepis tangan bapak itu. "Bagaimana saya bisa sabar? Ayah dan adik saya ada di dalam!" teriaknya frustrasi. Ia mengacak rambut, beranjak membantu beberapa orang yang hendak mengevakuasi Handoko dan Viola dengan terburu-buru. Mereka kesulitan sebab tubuh korban terhimpit oleh besi mobil yang ringsek.

"Princess, kau bisa dengar Kakak? Bertahanlah. Kakak mohon," lirihnya pelan sekali, dengan bibir juga suara yang bergetar.

Dengan diiringi doa serta kerja keras, mereka berhasil mengeluarkan tubuh Viola dari sana. Ega memeluknya dengan hati-hati, mengecup pipinya berkali-kali saat menggendongnya menuju mobil ambulans yang baru saja datang.

Hujan deras mengiringi perjalanan mereka ke rumah sakit. Hujan deras juga turun di mata Ega.

"Viola ... tolong bertahan ...."

***

Aurelia membungkam mulut. Matanya melebar ketika melihat wajah korban kecelakaan yang akan ia tangani. Tidak salah lagi. Ia tak mungkin salah lihat. Itu benar-benar Viola!

Petugas medis dengan cekatan mendorong brankar yang menopang tubuh Viola. Aurelia bergegas ikut mendorong. Jantungnya berdebar tak beraturan. Ia dapat melihat Ega mengikuti mereka dengan raut tak karuan.

Mereka telah membawa Viola masuk. Aurelia menatap Ega lamat-lamat. "Kami akan berusaha menyelamatkan adikmu, tolong tenang dan bantu dengan doa."

Ega tak memberikan jawaban apa pun selain mengangguk lemah. Aurelia tersenyum paksa lantas menutup pintu. Melihat Ega tampak kacau, Aurelia turut terluka. Baru kali ini ia menyaksikan Ega sehancur itu.

Aurelia menghampiri rekannya. Ia memasangkan alat penunjang hidup di tubuh Viola. Dokter yang menangani tampak kewalahan.

Selama menjadi perawat, Aurelia tak pernah merasa cemas berlebihan saat menangani pasien. Biasanya, ia profesional dan selalu tenang. Tentu, yang kini ia tangani bukan pasien biasa. Pasiennya adalah adik Ega, laki-laki yang ia kagumi. Ia takut membuat Ega kecewa.

"Denyut jantung melemah! Saturasi oksigen menurun!"

Aurelia semakin kalut saja.

***

Haura berbaring di kamar. Lagi-lagi, sendirian. Cairan infus yang menggantung di sisinya perlahan menetes, mengaliri selang menuju tangannya yang kian kurus.

Suara pintu terbuka membuat gadis itu membuka mata. Raut wajah murung milik Lea menyambutnya di ambang pintu. Haura tersenyum untuk menyapa, tetapi Lea tetap murung. Itu membuatnya penasaran dan segera melontarkan pertanyaan, "Kenapa?"

Lea menatapnya sekilas, lalu membuang pandang. "Viola, Ra ... Viola."

Haura mengerutkan kening. Ada sesuatu yang tak wajar dalam jawaban Lea. "Kenapa dengan Viola?"

Lea kembali menatapnya. Kini terlihat jelas sorot kekhawatiran dalam netranya. "Viola kecelakaan."

"Inalillah!" Sontak, gadis itu bangkit dari posisi berbaring. "Dia bahkan baru pulang dari rumah sakit!"

"Viola kecelakaan di perjalanan pulangnya, Ra."

"Ya Allah ...." Haura memegang kepala, kalut. "Apa Kak Ega sudah tahu?"

"Dia sudah di sini. Aku tahu itu kakaknya Viola karena tak sengaja mendengar perbincangan mereka saat mengurus administrasi."

Haura memandang Lea penuh permohonan. "Aku harus ke sana. Kak Ega pasti butuh seseorang untuk menguatkan."

"Baik, aku antar."

Lea membantu Haura. Lantas, mereka keluar kamar, mencari sosok Ega di antara manusia yang berlalu-lalang.

"Mbak, berhenti," pinta Haura tiba-tiba.

Sejauh sepuluh meter dari tempatnya berada, Haura melihat Ega. Seorang dokter tampak berbicara pada pria itu. Haura tak tahu apa yang mereka bicarakan. Namun, ia merasakan firasat yang tak baik kala menyaksikan ekspresi Ega. Pria itu mengusap wajah dengan kasar. Bahunya bergetar, lalu ia terduduk lesu di kursi tunggu. Wajahnya ia tutupi dengan kedua tangan, menyembunyikan tangis yang tak bersuara.

Beberapa perawat keluar dari ruangan Viola, meninggalkan Ega begitu saja. Namun, ada satu perawat yang menghampiri Ega, duduk di sisinya, dan mengusap bahu Ega dengan lembut. Aurelia.

Tak sampai satu menit, Ega tiba-tiba berdiri, menepis tangan Aurelia cukup kasar. Aurelia mematung di sana. Air matanya turut jatuh ketika Ega meninggalkannya dan memasuki ruangan Viola.

Napas Haura terasa berat. Ia bisa menebak apa yang terjadi sebenarnya.

"Innalillahi wa innailaihi rajiun."

***

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang