5. Petunjuk

119 11 0
                                    

"Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang." (QS. Al-Ahzab ayat 41-42.)



***



Lik Nur memang begitu peduli.


Sepulangnya Haura dari rumah sakit, wanita beranak satu itu dengan telaten merawat Haura, sampai rela bolak-balik dari rumahnya. Ia membawakan beberapa makanan-tentunya setelah memilah mana yang baik untuk kesehatan Haura dan mana yang tidak. Pasien leukemia seperti Haura memang tak boleh makan sembarangan. Haura dilarang memakan telur atau daging setengah matang. Ia juga harus mengonsumsi sepuluh buah atau sayuran setiap hari. Karenanya, Lik Nur membuatkan jus wortel, sup sayur, serta pisang.

"Lilik tidak perlu repot-repot membawakan ini untukku," Haura berujar tidak enak hati ketika Lik Nur memasuki kamarnya dengan beberapa makanan di tangan.

"Aish, tidak apa-apa," balas Lik Nur. Ia menyodorkan gelas berisikan jus wortel. "Lilik baca dari internet, katanya wortel bagus untuk penderita leukemia. Meski sebenarnya akan lebih bagus jika mengonsumsi jus buah bit. Sayangnya di sini tidak ada buah itu."

Haura menerima gelas yang Lik Nur berikan. Matanya mengamati cairan itu untuk sesaat. Diseruputnya jus wortel pelan-pelan. Uhm, rasanya aneh, tapi tak apa-apa, demi kesembuhannya.

"Terima kasih, Lik. Aku banyak merepotkan."

"Tidak apa-apa." Wanita itu bersandar pada sandaran kursi. Matanya menerawang ke atas. Helaan napas berat ia hembuskan. "Mbok Mar dulu begitu baik pada keluarga kami. Jadi Lilik pikir, Lilik harus balas budi. Karena beliau sudah tidak ada, Liliklah yang harus menggantikan posisinya untuk menjagamu. Karena kau cucu kesayangan beliau."

"Aku bukan cucu kandungnya, Lik."

"Lilik tahu." Ia mengubah posisi, menatap netra jernih di hadapannya dalam-dalam. "Tapi Mbok Mar selalu menganggapmu sebagai cucu kandungnya."

Ah, Simbok ....

Perbincangan kali ini benar-benar membuat kerinduan Haura semakin bergejolak.

"Sebelum kau ada ...," Nur mulai bercerita, "Mbok Mar selalu terlihat murung. Beliau tak punya keluarga. Lilik juga kurang tahu di mana saudara-saudaranya. Suaminya meninggal saat anak mereka masih kecil. Sampai akhirnya, anak satu-satunya Mbok Mar menikah. Beliau girang sekali waktu itu. Sayang sekali saat menantu Mbok Mar hamil delapan bulan, mereka mengalami kecelakaan. Anak, menantu, serta calon cucu Mbok Mar meninggal dalam kecelakaan itu. Padahal sebentar lagi cucunya lahir."

Haura tertegun. Apa ujian yang Simbok alami memang seberat ini? Kenapa Simbok tak pernah menceritakan kisah kelam itu padanya?

Nur menepuk bahu Haura. "Lalu kau hadir. Kehadiranmu seperti cahaya dalam hidup Mbok Mar yang gelap. Kau telah menyembuhkan luka batin yang beliau rasakan. Mungkin kau mengingatkannya pada calon cucu yang tak sempat lahir itu. Kalian sebaya jika dia masih hidup. Tak heran beliau menganggapmu seperti cucu sendiri."

Hening. Haura menggigit bibir. Berusaha keras menahan tangisnya agar tak pecah. "Aku baru tahu tentang ini, Lik. Simbok tak pernah bercerita."

"Sungguh?"

"Ya."

Lik Nur mengusap kepala Haura lembut. "Mungkin beliau tak mau membebani pikiranmu."

"Aku saja selalu membagikan kesedihanku pada Simbok. Kenapa Simbok memendam lukanya sendirian?"

Tak ada jawaban, sebab Nur juga tak tahu harus menjawab bagaimana. Ia hanya mengusap-usap punggung Haura untuk memberi ketenangan.

"Ngomong-ngomong, apa Lilik tahu dari mana Simbok mendapatkanku?" Haura bertanya penuh harap. Barangkali ia bisa mendapatkan petunjuk tentang keberadaan orang tuanya.

Nur diam sejenak, mengingat-ingat kejadian empat belas tahun lalu. "Lilik hanya tahu seseorang menitipkanmu pada Mbok Mar, tapi identitasnya tak kami ketahui. Tiba-tiba saja, pada suatu pagi, kami melihat beliau tengah menggendong bayi."

Cerita itu tak bisa menjadi sebuah petunjuk.

"Kenapa?" tanya Nur melihat Haura menghela napas berat.

"Aku ingin bertemu orang tuaku, tapi petunjuk yang kupunya hanya sedikit," keluh Haura. Ia menangkupkan wajah pada dua telapak tangan, lantas memijat kepalanya yang pening.

"Sedikit bukan berarti tidak ada, 'kan?"


Kalimat itu membuat Haura tertegun.


Benar, sedikit bukan berarti tidak ada. Setidaknya, Haura punya petunjuk. Ia hanya perlu memecahkan petunjuk itu, barangkali ada petunjuk lain di baliknya. Petunjuk itu bagai puzzle yang harus disusun sedemikian rupa untuk melihat hasilnya.

"Lilik ... mau bantu aku?"

Haura adalah orang yang tak suka merepotkan orang lain. Namun, untuk kali ini, ia rasa tak mengapa meminta bantuan untuk satu hal terpenting dalam hidupnya.

"Dengan senang hati, Ra."

Haura menunjukkan buku tabungan serta kartu ATM yang ia taruh di sisinya. "Tolong bantu aku mencari tahu siapa yang mengirimkan uang padaku tiap bulan, Lik."



***



Lantunan dzikir terdengar lirih dari dalam bilik berdinding kayu yang disatukan dengan anyaman bambu. Gadis kecil berdiam diri di sana. Mukena putih membalut tubuh, sementara sebuah tasbih melingkar di tangan kanan. Matanya terpejam begitu khusyuk.

Semasa hidup, Marsinah selalu mengajari Haura untuk terus mengingat Allah dalam setiap embusan napas, serta membasahi lisannya dengan kalimat dzikir. Ia memang tak mampu mendudukkan Haura di bangku sekolah umum. Namun, bukan berarti ia abai pada pendidikan gadis itu. Dibekalinya ilmu-ilmu keagamaan serta pengetahuan umum. Lantas, Marsinah akan menyuruh Haura untuk mengamalkan ilmu yang dipelajarinya. 'Haura boleh tidak bersekolah, tetapi ilmu pengetahuannya tidak boleh kalah, terutama perihal agama.' Begitu pikir Marsinah.

Dari didikan Marsinah pula, tumbuhlah Haura sebagai gadis soliha yang tak pernah lupa pada tuhannya. Wanita tua itu benar-benar berhasil mendidik Haura menjadi gadis baik yang mengagumkan.

Haura merapikan mukena setelah selesai berdzikir. Tubuhnya terasa lemas dan tak bertenaga, tetapi Haura memaksakan diri untuk bangkit. Kemarin, ia bersama Lik Nur telah memutuskan untuk pergi ke bank hari ini, mencari tahu siapa yang mengirimkan uang padanya. Haura tak sabar untuk memecahkan petunjuk keberadaan orang tuanya.

"Assalamualaikum, Ra. Kau sudah siap?" Nur tiba-tiba melongok di balik ambang pintu, membuat Haura terlonjak kaget.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Sudah, Lik," balasnya dengan senyum girang.

Nur menghampiri Haura, menggenggam tangan serta bahu gadis itu untuk membantunya berjalan. "Kau terlihat lemas. Bagaimana jika Lilik saja yang ke bank sendirian? Kau cukup menunggu di rumah."

Haura menggeleng tegas. "Aku harus ikut, Lik."

"Lilik takut kau jatuh sakit lagi."

"InsyaaAllah tidak. Kita hanya sebentar saja di sana, 'kan?"

Nur tampak ragu. Namun, karena Haura bersikeras, ia terpaksa memenuhi permintaan gadis itu. Meski ada perasaan cemas yang memenuhi rongga hatinya. Dengan hati-hati, Nur menuntun Haura menaiki motor miliknya. Setelah memastikan Haura nyaman di posisinya, barulah wanita itu melajukan motor membelah jalanan.

Hening melingkupi. Haura asyik menyaksikan pemandangan di sepanjang jalan. Kebun-kebun serta pemukiman padat tak lagi tampak setelah motor Lik Nur berbelok. Kini, suasana khas kota begitu terasa. Di sini cukup ramai oleh kendaraan yang berlalu-lalang serta orang-orang yang sibuk keluar-masuk pasar dan pertokoan. Dari jauh, terlihat gedung-gedung menjulang. Terlihat sangat kontras dengan lingkungan tempat tinggal Haura yang kumuh.

Haura bersandar pada punggung Lik Nur. Terasa begitu nyaman. Hatinya menghangat. Dalam diri Lik Nur, Haura merasakan aura keibuan yang selama ini ia rindukan. Matanya memejam dan tangannya memeluk pinggang wanita itu, membayangkan bahwa yang ia peluk benar-benar ibu kandungnya.



***


Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang