"(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
(QS. Ar-Ra'd 13: Ayat 28)***
Asti hanya wanita biasa yang masih punya perasaan. Ia tahu dirinya jahat, memilih menitipkan putrinya pada orang lain demi ketenangan Asti sendiri. Ia tahu dirinya egois. Ia lebih mementingkan kesehatan mentalnya sendiri, seakan lupa bahwa apa yang ia lakukan kepada Haura juga bisa memengaruhi mental perempuan itu.
Asti tak sepenuhnya bersalah. Ia juga korban dari perlakuan seorang pria yang tak punya tanggung jawab, yang memilih meninggalkan Asti meski wanita itu hamil karenanya. Asti yang terluka berpikir, menitipkan Haura jauh lebih baik sebab ia tak mampu merawat putrinya sendirian sebagai single parent. Asti malu, Asti ragu, Asti takut dianggap rendah oleh orang-orang jika mereka tahu dirinya hamil tanpa suami.
Namun, kali ini, entah kenapa Asti menyesali keputusannya empat belas tahun lalu. Berkarir di dunia modelling tak membuatnya bahagia. Asti merasakan kekosongan pada relung hatinya. Tidak jarang ia bermimpi buruk, wujud dari rasa bersalah yang selalu menghantui pikirannya. Beberapa lelaki hadir menawarkan cinta. Namun, tak satu pun dari mereka yang Asti terima. Peristiwa masa lalu membuatnya trauma menjalin ikatan dengan pria.
Asti di ambang dilema. Pekerjaan mengharuskannya untuk pergi ke kota tempatnya berasal, tempatnya melahirkan Haura dan meninggalkan anak itu sendirian. Sisi keibuannya berkata untuk menyambangi kediaman Marsinah demi mencari tahu keadaan sang putri. Namun, egonya melarang. Karirnya bisa-bisa hancur jika aibnya ketahuan. Lagipula, apa putrinya masih mau menerima Asti sebagai ibu setelah apa yang ia lakukan?
Ketakutan serta keraguan membuat Asti memilih menuruti ego.
Matahari begitu terik kala mobil Asti membelah ramainya kota. Ia menurunkan kaca mobil. Sepoi angin mengenai pipinya yang dilapisi make up. Kulitnya masih terlihat kencang dan mulus. Siapa yang mengira bahwa usianya sudah 35 tahun sekarang?
Asti terlonjak ketika ponselnya berbunyi. Dengan segera, ia mengangkat telepon dan menempelkannya ke telinga. "Hallo, Bu. Saya akan sampai sebentar lagi," ucapnya.
Suara isakan di seberang menjawab sapaannya. Kening Asti berkerut. "Bu? Ada apa, Bu?" tanyanya saat merasakan hal yang tak beres.
"Mohon maaf, Bu Asti. Sepertinya pertemuan ini harus kita tunda. Suami saya kecelakaan."
Asti menghela napas. Ia sudah jauh-jauh kemari dari luar kota, kenapa malah ditunda? Wanita itu menggigit bibir bawah, berpikir beberapa saat. "Rumah sakitnya di sebelah mana, Bu? Biar saya ke sana untuk menjenguk." Demi mempererat ikatan dengan koleganya, Asti rasa akan lebih baik bila ia menjenguk.
Wanita di seberang telepon tak kuasa menolak. Ia menyebutkan nama rumah sakit tempatnya berada.
"Baik. Ibu yang sabar, ya. Sampai nanti."
Asti mematikan telepon. Ia berbisik kepada supir untuk beralih tujuan. Setelahnya, perempuan itu mengembuskan napas berat.
***
Sejak pagi tadi, Haura sudah merasa tak enak badan. Kepalanya pusing dan sesekali menggigil. Namun, ia tak menyesal memutuskan bepergian hari ini. Menurut Haura, petunjuk itu jauh lebih penting daripada kesehatannya.
Tangannya masih berpegangan pada pinggang Nur dan matanya masih memejam. Terik matahari yang menyinari wajahnya membuatnya mengerutkan kening tanda tak nyaman. Nur merasakan gelagat aneh gadis itu sebab genggamannya semakin menguat. Nur memperlambat laju motor dan menepikan kendaraan ke tepi jalan. Diusapnya tangan Haura pelan. Wanita itu terlonjak seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Haura And Her Soldier ✔
Teen FictionHaura Syaqilla, gadis tuna daksa yang hidup sebatang kara. Senyum tabahnya menjadi andalan setiap ujian datang melanda. Seberat apa pun kepelikan yang ia terima, tidak akan menggoyahkan pendirian gadis itu, bahkan ketika divonis leukemia sekali pun...