7. Pertempuran

121 14 0
                                    

"Misi kita adalah menyelamatkan sandera dari kelompok teroris pimpinan Mister Wijaya. Menurut laporan dari intelijen, mereka kembali meneror warga Desa Karang Biru dan menyandera tiga orang pejabat desa."

Darah Ega mendidih mendengar nama yang disebutkan Kapten Trian. Benar ucapan sang ayah, pimpinan kelompok itu memang pamannya sendiri.

"Agaknya serangan dari kita beberapa hari lalu yang merebut gudang senjata serta meringkus anggota mereka membuat kelompok itu merencanakan balas dendam. Pukul lima pagi nanti, kita menuju hutan lalu menyergap tempat persembunyian mereka. Lakukan dengan baik dan jangan sampai ada kesalahan," ujar Kapten Trian tegas. Pria itu lantas meraih sebuah peta dan menunjukkan sebuah tempat. Ia kembali menjelaskan strategi penyerangan dengan detail. Anggota tim mendengarkannya dengan konsentrasi penuh sampai benar-benar paham.

Setelah memastikan strategi yang akan digunakan sudah cukup matang, Kapten Trian kembali menggulung peta dan berujar tegas, "Rapat selesai. Silakan kabari keluarga terlebih dahulu sebelum berangkat. Selamat bertugas!"

Ega beserta rekan satu timnya bergerak menjauh dari barak setelah memberikan penghormatan. Pria itu meraih ponsel lantas menelepon sang ayah. Tidak butuh waktu lama untuk segera tersambung dengan Handoko.

"Assalamualaikum, Ayah. Mohon doanya. Saya akan berangkat bertugas sekarang."

'Wa'alaikumussalam. Doa Ayah akan selalu mendampingimu, Ga.'

"Terima kasih, Yah."

'Hati-hati dan kembalilah dengan selamat.' Kata-kata itu adalah kebiasaan rutin yang selalu Handoko sampaikan selama melepas putranya bertugas. Diucapkan dengan rasa bangga serta khawatir yang bercampur aduk.

"Saya pasti akan kembali," ujar Ega tegas.

Ya, dia akan kembali, meski tak yakin kembali dalam keadaan bernyawa atau tidak. Ega tahu betul apa risiko mengikuti misi penting semacam ini.

Telepon ditutup setelah saling berbalas salam. Pria itu kembali berjalan menuju barak menghampiri rekan satu timnya.

Tim itu terdiri dari lima tentara yang sama-sama berbakat; Kapten Trian, Letda Ibnu, Sertu Ega, Serda Imam, serta Pratu Danu.

"Sudah mengabarkan?" Kapten Trian menyapa ramah.

"Siap, sudah, Ndan!"

"Persiapkan diri. Kita akan berjuang habis-habisan setelah ini." Pria rupawan berpangkat kapten itu menatap Ega penuh arti.

***

Matahari sayup-sayup memamerkan sinarnya dari celah pohon, menerangi derap langkah tegas lima orang pria berbaju loreng. Mereka terus bergerak dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Sesekali saling bertukar informasi dengan lirih.

"Ada empat orang yang berjaga di depan dan membawa senjata," lapor Letda Ibnu, menatap Kapten Trian menunggu jawaban.

"Kita lumpuhkan mereka. Sekarang!"

"Siap!"

Kelima tentara itu merangsek maju, dengan cepat menyergap empat penjaga yang tampak kaget. Mereka sempat melawan, tetapi karena belum siap, mereka dapat dengan mudah dikalahkan. Setelahnya, Ega serta rekannya segera memasuki gedung.

Sekilas tak ada yang aneh. Hanya ruangan kumuh yang tak berpenghuni. Tampak sarang laba-laba bertengger di pojok ruangan. Tak ada perkakas apa pun di sana. Mereka berjalan dalam ruangan luas itu dengan penuh kewaspadaan.

Ada sebuah lorong di ujung ruangan. Lorong gelap dengan lebar satu meter. Mereka melaluinya tanpa mengurangi konsentrasi. Tiba-tiba, di ujung lorong, muncul dua orang berbaju hitam yang dapat dipastikan merupakan bawahan Mr. Wijaya. Orang-orang itu menodongkan senjata pada tim dan menembaki dengan brutal.

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang